Sunday, 24 January 2016

Survivor




Ngomongin kata survive rasanya tidak jauh-jauh dari yang belakangan saya jalani. Ceileh, survivor banget anaknya ceritanya cyin.... Hahahaha bagaimana tidak, saya ditinggal sama pembantu yang sampai sekarang belum ada penggantinya, putus cinta yang sampai sekarang juga belum ada penggantinya, di kantor ada 2 orang baru yang saya supervisi-in dan mereka tidak tidak ditrain sama si kantor ini, dan paling terakhir adalah saya harus berjuang mengetatkan seluruh pengeluaran karena butuh dana untuk beberapa hal yang tidak murah dan mendesak, seperti berlibur. (Nah, iya pasti pada bertanya-bertanya, emangnya berlibur sebegitu mendesaknya? Iya, bagi saya. Hahahaha)

Bertahan atau at least mencoba bertahan sekuat tenaga untuk survive itu ibaratnya sedang mengikuti marathon. Capek, tapi harus. Jika tidak, ya sia-sia. Tidak boleh setengah-setengah. Lagi mau nyuci baju, cuma sampai merendam, tidak dibilas dan tidak dijemur. Apek dong, bajunya juga jadinya rusak. Setelah baju yang dicuci kering pun, mesti disetrika dulu biar rapi. Jika tidak disetrika, emangnya mau keluar dengan baju kusut tidak rapi?

Nah,. itu kalau survivenya memang tidak punya alasan untuk setengah-setengah, let say akibatnya terlihat secara langsung dan signifikan. Ada lagi bertahan dengan aturan main yang berbeda, ibaratnya seperti memancing ikan di danau. Harus bersabaaaaaaaaaar sekali untuk mendapatkan ikannya. Jika tidak, tidak apa sih sebenernya, anggap saja memang lagi apes hari itu, atau ikan-ikannya mungkin sedang ada kondangan di bawah air sana, jadi tidak perlu cari makanan lagi berenang-berenang ke sana kemari. Sama kaya sedih, kita bisa punya pilihan untuk stay at that zone atau mengambil tindakan yang, "Yasudahlah, lets move on." Kembali ke pilihan masing-masing individu.

Survive yang lebih asik menurut saya adalah survive untuk mencapai keinginan tertentu. Seperti naik gunung! Capeknya luar biaaaaasa. Pengorbanan dan perjuangannya habis-habisan, capek, tangan kaki sakit, tidak jarang sampai luka-luka dan memar, belum lagi kalau sudah capek dan tujuan belum tercapai, rasanya mau nangis dan berguling saja kembali ke bawah. Tapi harus pinter-pinter memilih partner untuk situasi yang seperti ini, bisa tidak si partner tersebut memberikan support untuk kita untuk tetap survive dan melanjutkan perjalanan, dan membantu mendorong untuk bersama-sama mencapai puncak? Secara psikologis naik gunung itu tidak enak. Asli, mau mati rasanya. Saya naik gunung sudah dari SMP sampai sekarang, dan belum yang parah-parah banget seperti ke Everest. (Tapi pengen juga sih hehe). Begitu sampai di puncak, percayalah. Anda akan menjadi orang yang paling bahagia di seluruh dunia dan tiba-tiba saja merasa sayang sekali dengan diri Anda sendiri dan rasanya mau peluk diri sendiri karena sudah bersabar tidak menyerah dan teta[ melanjutkan perjalanan hingga sampai ke tujuan. Pemandangan itu hanya sebagian dari buah manis dari pendakian, sari manisnya ya itu tadi, rasa syukur dan pelajaran hidup NOMOR 1, yaitu jadilah survivor.



No comments:

Post a Comment

Hamil (Ep. 1)

H a lo... Sesuai janji saya di post sebelumnya, kali ini saya akan membahas tentang kehamilan saya secara lebih detail. Kapan ketahuann...