Friday 22 July 2016

Kaizen & BSC (Edisi Anak manajemen yang budiman)

Hola!

Cerita hari ini dipersembahkan oleh pencarian kerjaan baru (puji Tuhan kali ini bukan karena bosen atau bermasalah dengan lingkungan kerja/orang-orangnya, tetapi karena mau menyusul si mas Norak yang sebenernya dari kapan tau eke juga pengen banget tinggal di sono) dan requirement-nya adalah mengerti Kaizen dan BSC.



Saya adalah anak manajemen. Marketing. Tapi judulnya doang. Soalnya kuliahnya belom lulus. Dan pelajarannya nggak ada yang nyangkut juga hahah. Tapi nggak apa, kan pada prinsipnya belajar & kuliah itu selain mencari ilmunya, juga melatih cara berpikirnya ya kan. Nah, mungkin saya hanya bisa memetik bunga keduanya saja, yaitu melatih cara berpikirnya.

Terima kasih kepada Allah SWT dan segala ciptaannya yang memberikan inspirasi kepada Larry Page dan Sergey Brin untuk membangun dan mendirikan Google sehingga mahasiswa-mahasiswa yang jati dirinya diragukan seperti saya ini masih dapat menimba ilmu hingga ke lautan yang terdalam melalui artikel-artikel dan link-link yang seabreg-abreg sebanyak baju Monza (yang nggak tau, silahkan di-Google juga ya!) yang melimpah ruah di Pamela Anderson alias Pajak Melati yang gampang banget untuk dipilih, tinggal sesuain mau buka & baca yang mana. ***ini kalimat panjang bener yak ga ada titik-nya sampe berapa baris***

Jadi inti dari tulisan ini adalah : Anda boleh sekolah setinggi-tingginya dan serajin-rajinnya dan sebanyak-banyaknya. Namun, tetaplah percaya kepada Google, karena Google lebih mampu mengajari Anda akan hal-hal yang belum pernah Anda ketahui sebelumnya.

Harus paham tentang filosofi Kaizen ini, supaya kita selalu berkembang ke arah yang lebih baik dari waktu ke waktu, walupun prosesnya tidak instan. Sementara itu, si BSC intinya adalah perubahan prospektif dari yang financial goal menjadi goal-goal yang lainnya, misalnya human resource goal, visi, juga manajemen organisasi. Or in the other word, menjadi matre di hari gini itu udah nggak keren lagi cyin.... Tapi perlu hidup yang balance, either lo bahagia, atau merasa selalu cukup dan legowo (Eh, gimana?)


Salam,
Mahasiswa Magister Manajemen Murtad.


Friday 15 July 2016

Suka Difoto

Masih edisi pasca libur (lebar) -an.

Jadi ya, saya kan bawa kamera Samsung yang enteng tapi hasilnya lumayan itu selama ke Jogja kemarin. Tapi mood untuk jeprat-jepret kok kayaknya masih enggak serajin dulu. Nah, untungnya si mas lebih rajin motoin daripada saya. Hasilnya juga lebih bagus, padahal cuma pake camera pocket biasa. Mungkin motretnya dari hati haha. Jadilah saya menjadi model dadakan. Lumayan, bisa dipajang di warung nasi depan gang hahahaha
















Thursday 14 July 2016

Logika atau Perasaan? (Postingan Curhat)

Once upon a time...
Pergilah berlibur (bertemu di tengah-tengah) dua anak yang LDR dan bertemu pertama kalinya sebagai pasangan (pacar) di kota cakep, yaitu Jogja. Kurleb 6 hari sepanjang hari, 2 anak ini pun menjalani kehidupan yang indah (karena tidak bekerja) dan bahagia (karena bisa bangun siang). Kebahagiaan 2 anak ini juga dilengkapi oleh ornamen-ornamen yang tidak kalah indahnya, sebut saja makanan, pemandangan, suasana, serta bertukar cerita dan tertawa.

Hmm, ok. Gue capek ngomong sok pujangga.

Jadi, inti and the inti dari liburan singkat 6 hari selama muterin Jogja dan Jawa Tengah dan sekitarnya itu adalah : jalan-jalan.

(Lalu postingan ini pun selesai.)

Hahahaha

Ok, mari kembali mencoba untuk lebih serius. Seperti hubungan aku sama kamu. Serius.

Menyenangkan sekali. Selama 6 hari. Menyedihkan sekali. Pas udahan liburannya. Jadi galau. Lalu menunggu-nunggu lagi, kapan ya bisa ketemu lagi. Semacam nungguin abang tukang bakso di depan rumah sore-sore. Mendebarkan.

Kemana aja dan ngapain aja selama 6 hari?
Masih males nulisnya. Panjang dan banyak. Ntar-ntar aja kalau udah sembuh galaunya dan udah jadi fotonya.

So, logika atau perasaan? We have them both. I can say I have them both, but he also said so. Dari penerawangannya melihat garis jempol tangan. Another super skill that he had. Super!

Kata mba Septy : "Penting sih kamu ngejalanin berhari-hari ketemu berdua sama dia, jadi biar tau aslinya kayak apa. Kalau berantem kayak apa. Jadi tau egonya seperti apa."
Kata pikiran saya : "Ok, lets see. Ini kalau kelamaan bareng biasanya berantem. Kalau berantem mari kita lihat apakah saya bisa maklum atau tidak."
Pada kenyataannya : Tidak ada berantemnya sama sekali semenjak dari bertemu sampai berpisah lagi. Berdebat pun tidak. Merasa tersinggung pun tidak. Berkecil hati pun tidak. Plong. Kayak kaki celana.

Pertanyaannya : Kok bisa?
Jawabannya : Masih menjadi misteri.

Kata Haikal, mungkin saya membatasi ego dan menahan diri. Enggak juga tuh. Saya enggak pengen banyak, hanya makan gudeg yang paling pengen pake banget. Puji Tuhan dikabulin, 2 kali. Selebihnya kemana-mana ya asik-asik aja. Jaim, nahan diri, nahan ego.. Sepertinya nggak ya. Hmm, paling ya nahan mulut. Jaga omongan, biar nggak nyampah-nyampah banget. Dan itu nggak ada beratnya sama sekali, cuma jaga-jaga biar nggak kelepasan.

Kata Feli, enjoy aja selama nggak ada masalah. bagus nggak ada drama, dan nggak usah dicari. Nanti juga datang sendiri. Kalau belum ada berantem ya berarti Tuhan belum kasi ujian aja.

Kalau kata edak Novrin, berarti mungkin sama kayak dia sama Yunus, tipikal yang emang nggak pernah berantem. Selama pacaran nggak pernah berantem, ini udah nikah juga belom ada berantemnya sama sekali. Damai benerrr. Kata mba Septy juga kayak mba Eiva sama suaminya, belasan tahun nikah nggak pernah ribut sama sekali. Adem bener yak?!

Nah, kembali lagi ke logika dan perasaan. Logikanya sih bener, kalau enggak ada dramanya sama sekali ya bagus. Berarti emang tipikal perhubungan (dinas kali, perhubungan) yang ini adem ayem aja. Perasaannya? Degdegan! Sampai sekarang masih suka degdegan dan semacam orang kesambit suka senyam senyum sendiri. Hhh...

Nah, next question pastinya : Jadinya gimana?
Logikanya : Kita LDR. Is is bad? Nggak 100%. Melalui LDR, kita bisa mencanangkan hidup hemat karena tidak perlu berkencan atau ngedate sering-sering. (Which is banyakan pemborosan saya karena diajakin Teguh hampir setiap minggu nongkrong makan di luar dan nonton bioskop premier).
Point kedua, waktu untuk bekerja, keluarga, dan teman-teman bisa dimaksimalkan dan fokus. Waktu untuk pacaran dan saling mengenalnya? Malem-malem pas telfonan.
Point ketiga, waktu untuk diri sendiri dan berpikir tentunya lebih banyak. Timbang menimbang segala sesuatunya.
Point keempat, last but not least, waktu untuk berdoanya jadi lebih panjang. (Edisi religius)

Jeleknya cuma 1. Ketemunya nggak real time. Dan di hari pertama dan kedua pasca berpisah, hari-hari adalah kelabu. Menyedihkan. Dikuasai sama perasaan. Norak.
Hari ini di hari ketiga, saya sudah masuk kantor dan sudah pusing di kantor. Puji Tuhan perasaannya sudah berlutut pada logika. Sudah tidak melow lagi, karena sedari pagi sudah nyut-nyutan sama kerjaan sampai harus menelan 1 butir Panadol merah :)

So, puji Tuhan, apapun pilihannya, baik logika ataupun perasaan, mudah-mudahan kalau niat dan jalannya baik, si pasangan tersebut akan membawa kita ke arah yang lebih positif setiap hari. Kalau kata Blue, "Cause you bring out the best in me, like no one else can do.. That's why I'm by your side and that's why I love you"


P.s. Thanks Mase for the great days, the more I know you, the more stories that you told me about yourself, family, ambition, the more confession that surprised me at first but in the end I realized, we all are only human, I believe that the best time will come for us to enjoy another journey and experiences :))
Semoga semesta mendukung dan mendengar doa-doa kita

Hamil (Ep. 1)

H a lo... Sesuai janji saya di post sebelumnya, kali ini saya akan membahas tentang kehamilan saya secara lebih detail. Kapan ketahuann...