Saturday, 26 January 2019

Hamil (Ep. 1)

Halo...

Sesuai janji saya di post sebelumnya, kali ini saya akan membahas tentang kehamilan saya secara lebih detail. Kapan ketahuannya, gimana planningnya, apa rasanya (yang pasti excited tapi degdegan parah hahaha), terus gimana reaksi orang-orang sekitar. Tapi bukan gimana cara bikinnya ya hahahahahahahahahahahahah *ditimpuk kemplang se-Indonesia)

Berhubung sebenarnya cerita kehamilan ini bersifat sedikit privasi, maka kemarin saya minta izin kepada suami untuk menuliskan pengalaman kehamilan saya sebagai wadah untuk bercerita, sharing kepada orang-orang yang membutuhkan, termasuk sebagai jurnal saya sendiri supaya punya record perjalanan kehamilan sampai nanti mudah-mudahan si baby lahir. Dengan persetujuan suami maka saya akan banyak bercerita tentang perjalanan kehamilan saya di blog ini ya ☺

❤❤❤❤❤ Planning Kehamilan ❤❤❤❤❤

Sebelum menikah, saya dan suami sudah membahas tentang plan kehamilan dimana kami ingin memberikan waktu kepada kami berdua untuk beradaptasi sebagai pasangan. Sebagai pasangan LDR semasa pacaran, tentunya ide ini menjadi kesempatan untuk kami dalam mengenal pasangan satu sama lain dengan lebih mendalam. Maka awalnya persiapan sampai kami akan memiliki anak direncanakan selama 3 tahun. Hahahaha lama ya? Iya, lama. Banget. Eits, itu maunya suami tapi... Awalnya saya pikir juga, yasalam 3 tahun mah keburu saya bosen duluan. Tapi suami saya berpendapat, cepat atau lambat bukanlah patokan dalam hubungan, melainkan kita berdua sebagai pasangan. Ngga mau kan punya anak buru-buru tapi kitanya aja belum sepaham, belum saling mengerti, belum settle dengan pasangan. 

Semacam tegas dan keras emang dibuatnya alibinya, but  I can say I agree with him. Yang saya tidak sepaham hanya waktunya. 3 tahun bisa lulus SMP, kan? Hahahah

Tapi... sang suami juga mengeluarkan mandat, kalau memang sudah ada panggilan hati menjadi ibu, ya mau tidak mau, programnya juga akan kita percepat. Deal. Hayati lega. Wkwk

Waktu berjalan...

3 bulan pernikahan dilewati dengan manis dan tanpa pertikaian rumah tangga (Alhamdulilah...)

6 bulan berjalan... Masih manis. Berantem pun tidak pernah. Ngambek sesekali pun tidak parah. Wow yah! Emejing sekali perjalanan berumah tangga ini. Tidak semengerikan yang orang-orang bilang heheheheh

Bulan ketujuh pernikahan. Istri merasa sudah sejalan dengan suami, sudah sebahasa, sudah seranjang (nah kan...), cita-cita luhur sudah digoreskan dengan tinta emas di dalam sanubari... Akhirnya si istri mengajukan PK alias Peninjauan Kembali atas Surat Perintah yang sudah disepakati awalnya. Perdebatan terjadi lumayan alot, sekitar 2 minggu. Dimana 2 minggu itu masing-masing kubu memberikan pendapat dan penglihatan dari sisi masing-masing. Untungnya sudah se-visi, cuma rute dan cara masing-masing yang berbeda. Sampai di suatu hari akhirnya si suami luluh, dengan alasan "Asalkan kau bahagia..." Ceileh...

Maka planning untuk mempunyai anak dari yang awalnya 3 tahun dimajukan menjadi 6 bulan. Tidak dengan unsur paksaan (masih bahagia dan menyenangkan kok "proses"nya hahahahah), akhirnya di bulan November 2018 dimulailah program kehamilan secara organik alias mandiri berdua. 

❤❤❤❤❤ Proses Menunggu Kehamilan ❤❤❤❤❤

Setelah akhirnya kita resmi memulai program kehamilan, saya langsung berkonsultasi dengan BFF, dimana grup ini isinya bapak dan ibu yang sudah memiliki anak semua, bahkan ada yang sudah 2. Bukan konsultasi resmi, hanya sounding "Eh gw udah mulai program nih." Mereka juga tau sedari awal menikah saya dan suami memutuskan untuk menunggu waktu dulu untuk hamil. Jadi lebih banyak sharing yang saya dapatkan dari mereka. 

Sedari awal, saya sudah mulai was-was memantau setiap tanda-tanda kira-kiranya saya langsung hamil. Mulai dari browsing tentang tanda-tanda kehamilan, check-check kalender, termasuk sharing pengalaman temen-temen BFF. Eh ternyata program hamilnya sudah melewati masa ovulasi, karena 11 hari dari program dimulai, saya menstruasi. Deg-degannya hilang deh.... sedikit. Karena menunggu bulan depannya lagi kan hahahaha

Dari hasil research saya (cieee research) ternyata kehamilan bisa terjadi jika pembuahan terjadi sewaktu ovulasi, dimana waktunya sekitar 14 hari sebelum menstruasi.Terus saya juga baru tau kalau ovulasi itu terjadinya hanya 1 hari, bukan selama masa subur seperti perkiraan saya awalnya hahahaha... Mesti buka buku pelajaran biologi lagi nih harusnya. Udah gitu ya, ovulasi ini penampakannya samar-samar. Tidak nyata seperti menstruasi yang bisa langsung dirasakan dan dilihat penampakannya. Sebenernya ada sih tanda-tanda detailnya juga, tapi berhubung saya anaknya males, jadinya pokoknya ngitungnya mundur dari jadwal saya harusnya menstruasi aja deh hahaha

Bulan Desember.

Sebenernya saya termasuk yang ontime setiap bulannya. Tapi periodenya yang tidak menentu, bisa 3 hari, pernah juga sampai seminggu. Mulainya selalu di waktu yang hampir sama setiap bulannya. Singkat cerita, sampai jadwal yang seharusnya, saya tidak juga menstruasi. Sampai akhirnya kita ke Medan untuk Natal, belum juga menstruasi. Ya mau ngarep tapi kebawa suasana rame sama keluarga, akhirnya malam pas tidur doang si suami nanya, "Udah dapet belum?"

Setelah terlambat leih dari seminggu, akhirnya saya dan suami memutuskan untuk membeli testpack di apotik. Konyolnya, untuk beli testpack awalnya saya malu. Trus ngajak suami untuk turun dari mobil nemenin saya. Katanya, "Ih ngapain malu sih, kan udah nikah. Kecuali kamu masih pakai baju seragam sekolah, terus beli testpack. Baru malu." Wkwkwk galak ya dia

Nah, kocaknya, kan kita beli testpack tuh malam. Rencananya mau dipakai besok paginya kan. Tapi.... Berhubung Kabanjahe itu dingin banget banget ya bok, sementara kita udah biasa hidup di Bali yang gerah dan panas, jadilah malamnya selalu mencari kehangatan hahaha (Sumpah ini geli banget nulisnya)

Terus akhirnya sebelum eksekusi untuk si 'kehangatan', kita browsing lagi. Apakah penggunaan testpack ini harus puasa 'yang hangat-hangat dulu'. Eh tapi nggak ada sama sekali informasinya. Jadilah tengah malam berhangat-hangat dulu sebelum tidur kan hahahah untuk bangun jam 5 subuh supaya bisa mencoba kinerja si testpack itu.

Ada 2 jenis testpack yang saya beli. Keduanya langsung dicoba bersamaan. Pas dicoba, eh kok garis dua-duanya (Nyengir lebar). Lalu saya tunjukkan ke suami, masih setengah bingung tapi mulai senang. Si suamik kaget. Senyum-senyum. Terus bilang, "Selamat ya sayang..."

Loh kok selamatnya ke saya hahaha. Terus setelah baca petunjuk si testpack lagi, sampai kita yakin bahwa garis dua itu artinya positif hamil, si suami nyeletuk lagi. "Eh tapi bukan karena habis ((berhangat-hangat)) kan tandanya jadi dua begini?" Hahaha saya sudah nggak bisa menanggapi karena masih ngantuk banget. Ujung-ujungnya narik selimut mau lanjut tidur lagi. Terus si suami sambil meluk perut saya, terus berdoa :))))

"Bapa kami yang ada di surga......dst

Rasanya? B-A-H-A-G-I-A. Totally bahagia. Bukan cuma karena hamil, tapi karena artinya kita berdua berhasil. Tuhan kasih kita yang kita pinta :))) Walaupun sempat degdegan, kira-kira kita hamilnya cepat atau mesti usaha ini itu kayak orang lain yang mesti program ke dokter dll.

Hehehe

Pokoknya masih bahagia deh sejak si testpack itu menunjukkan hasil yang sama dua-duanya. Semenjak itu si suami sudah mulai perhatian lebih detail lagi sih dari yang sudah perhatian sebelumnya. Tapi kita belum kasih tau siapa-siapa, rencananya mau surprise untuk malam pergantian tahun malamnya.

Gimana reaksi keluarga dan teman-teman dengan announcement kita, lanjut di postingan selanjutnya ya...

❤❤❤❤❤
Bumil yang lagi bahagia  


Wednesday, 9 January 2019

Welcoming 2019

Halo 2019!

*Nyengir lebar*

Izinkan saya untuk mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru 2019 kepada para khalayak pembaca blog saya yang budiman. Semoga di tahun 2019 ini kita semua menjadi pribadi yang lebih baik, lebih berguna bagi sekitar, lebih bahagia dan tercapai cita-cita dan harapannya. Amin.... Jika ada salah kata dan tutur kalimat yang kurang berkenan harap dimaafkan, dimana itu semua bukanlah sebuah kesengajaan ataupun sindirian *eh?

Baiklah... Mengawali tahun ini, saya sudah mengalami peristiwa-peristiwa yang cukup besar (buat saya) dan puji Tuhan semuanya adalah berita yang menggembirakan (lebih tepatnya dibuat menjadi gembira hahahaha). Melewatkan Natal dan pergantian tahun di kampung halaman adalah pengalaman yang menyenangkan tahun ini. Kenapa tidak di Bali? Sementara banyak orang berbondong-bondong ke Bali untuk merayakan pergantian tahun, bukan? Nah... itu dia (salah satu) alasannya kenapa saya lebih senang Natal dan Tahun Baruan di Medan... Karena Bali sudah rame, sumpek, macet, dimana-mana penuh sesak manusia. Kecuali mau tahun baruan di rumah aja ya sama suami dan si ikan gurami hehehe

Pengalaman suami dan beberapa orang teman yang pernah merayakan tahun baru di Bali, katanya akan sangat sulit untuk menembus kemacetan dimana-mana, apalagi di Kuta. Beeeeuh... Parkir saja sudah di central parkir, terus mesti jalan kaki kemana-mana. Mmmm... Cukup di hari lain saja ya sepertinya saya keliling-keliling di Bali sampai puas, tidak untuk terjebak di kerumunan manusia di pergantian tahun hehehe... But its sound fun sih sebenernya. Maybe I will give it a try, 1 or 2 years later (tapi sih pengennya tahun depan tahun baruan di luar negeri, kemana aja boleh deh)

Trus ngapain aja dong tahun baruannya di rumah? Secara ya ini tahun pertama tahun baruan sama suami, jadinya kita berbagi waktu antara keluarga suami dan keluarga saya. Pergantian tahunnya di rumah suami, berdoa bareng terus main kembang api. Lalu jam 2an subuh ke rumah saya, lanjut acara mandok hata, dilanjutkan dengan makan-makan subuh hari dan KAROKEAN! Hahahaha seru abis pokoknya. Lumayan lah waktu sekitar 2 minggu di rumah menebus 7 bulan tanpa pulang di Bali. Perantauan saya terlama nih ceritanya, biasanya paling lama 6 bulan udah pulang hehe

Lalu, peristiwa menyenangkan lainnya yang terjadi di pergantian tahun ini adalah........ Saya hamil! ☺☺☺☺☺☺☺
Ini menyenangkan banget banget banget sih... Soalnya yang senang bukan cuma saya, tapi seluruh keluarga besar! Suami, mertua, kakak, adek, namboru, sepupu, bibi, nenek, semuuuuuuanya senang hahahaha... Saya akan menceritakan tentang part hamil ini di postingan lain ya. Harap bersabar hehe

Terus... Peritiwa lainnya yang terjadi sekembalinya saya ke Bali adalah... Saya RESIGN! Bahagia kan... Lempeng sudah hati ini karena alasan saya resign kali ini adalah karena hamil hehehe bukan karena alasan yang sebelum-sebelumnya cukup menggondokkan hati Hayati. Jadi punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal membahagiakan lainnya yang sempat ter-skip karena kesibukan pekerjaan sebelumnya deh... Salah satunya adalah merawat rumah. Etapi tidak dianjurkan untuk bekerja berat dulu selama trimester pertama ini. Jadi... Happy-happy aja dulu hehehe

Resolusi di tahun 2019? Hmm... Karena sekarang sudah ketahuan hamil, resolusi jadi banyakan untuk kesehatan (jasmani dan rohani, serta simpanan tabungan ☺)

Whoaa... Excited sekali sebenernya tahun ini... Semoga seterusnya bisa jadi lebih bahagia ya...

Cheers semuanya...

❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤❤

Friday, 14 December 2018

Resolusi 2019



Tadi pagi Bapak Suamik nanya, "Tanggal berapa ya hari ini?" Tetiba saya kepikiran... "Ohemji 2018 udah mau selesai. Where have I been?" Hahaha... 2018 yang penuh kenangan akan ditinggalkan dan masuk ke tahun baru lagi.

Excited dan ga sabar juga sih sebenernya. Terus selama bulan Desember ini saya sering nanyai tentang harapan di tahun 2019 ke suami as our pillow talk. 
"Mau jadi suami yang lebih baik lagi untuk istirku, lalu sudah bisa kewujud punya aset ini dan itu."

Sederhana ya resolusinya si suamik hehe. Nah, kalau saya resolusinya apa aja ya?

1. Punya ijazah S2
Yup, walaupun wisuda S2 sudah dari bulan Februari 2018 kemarin, tapi saya belum bisa ambil ijazah. Kendalanya adalah saya belum publish jurnal internasional, dimana itu jadi syarat untuk pengambilan ijazah versi Sekolah Pascasarjana USU. So... Januari nanti rencananya saya akan kelarin urusan di kampus yang masih tertinggal, supaya bisa....

2. Jadi dosen
Salah satu cita-cita saya sewaktu memutuskan untuk kuliah lagi di tahap master adalah supaya bisa jadi dosen. Kenapa pingin jadi dosen dan bukan jadi guru? Soalnya dari pengalaman saya, yang menentukan kehidupan pekerjaan dan karir adalah kehidupan kampus, which is selama jadi mahasiswa. Udah gitu, mahasiswa sudah mulai bisa berpikir kritis. Sedangkan di jenjang sekolah SD, SMP dan SMA biasanya peraturan masih nge-drive kehidupan pelajarnya.

Trus kenapa kalo begitu? Saya pikir, saya punya banyak sekali ide dan pemikiran yang kalo saya obrolin sama orang lain, mereka kayak... "Oh iya ya.. Idenya bagus juga." Di sisi lain, saya pikir, kok orang ngga kepikiran yang sama seperti saya dengan ide yang inovatif dan bisa jadi lebih baik ya? So, cita-cita saya jadi dosen supaya bisa menularkan ke mahasiswa yang masih lugu-lugu bahwa dunia ini tidak melulu tentang materi, tetapi tentang ide mengarah ke kebaikan. Together we make a better world to life. Heheh

3. Traveling abroad
Puji Tuhan dikasih anugerah untuk tinggal di Bali yang penuh dengan turis dari seluruh dunia. Mengingat saya juga sudah lama tidak traveling ke luar negeri.... Dan Australia itu dekat dari Bali (di banding dari Medan ya kan hahaha) Jadi marilah kita berikhtiar (asix kali) untuk jalan-jalan ke Australia di tahun 2019. Ke daerah mana? Biarkanlah tiket promo yang akan menentukan hahaha

4.  Have kid (s)
Mengingat bahwa masa probation 6 bulan pernikahan dan lepas kangen pacaran LDR dengan bapak suami sudah lewat, maka planning selanjutnya adalah sudah bisa menambah anggota di keluarga kicik kita. Secara mental sudah mulai dipersiapkan. Begitu juga secara aksi (loh?) Proposal ini juga puji Tuhan sudah disetujui oleh Bapak Suami. So... Dalam nama Yesus ya ☺👶

5. Rutin olahraga (yoga/run)
Ini mah resolusi setiap tahun yang selalu akan diulang setiap tahunnya hahaha

Udah, kayaknya itu aja dulu resolusinya. Kalo kebanyakan entar kelabakan. Hehehe

Oiya, tentu saja untuk kepribadian maunya jadi orang yang lebih sabaran, selalu berfikiran jernih, dan selalu penuh cinta ke suami tersayang dan keluarga serta sahabat-sahabat super ❤

Kalau kamu apa resolusinya?

Thursday, 6 December 2018

Dear Husband, I Owe You the World...

Bagi sebagian orang, mengambil keputusan untuk menikah dan berbagi porsi kehidupan dengan orang lain merupakan hal yang sangat perlu dipikirkan berulang dan detail. Sama halnya dengan yang saya lakukan sebelum akhirnya mantap untuk bersama dengan suami saya dengan keputusan kami untuk menghadap ke orang tua, meminta restu dan izin untuk menikah. Apalagi saya... Memilih untuk makan apa dan dimana saja bisa menghabiskan waktu berjam-jam, melewati proses fit and proper test terlebih dahulu sebelum ketok palu. "Okey, kita makan di sini." Apalagi untuk keputusan besar seperti menikah ya... Kebayang kan berapa lapis pertimbangan yang harus saya kupas satu per satu.

Tanpa ingin melihat ke belakang, tapi saya akhirnya sadar, why it never worked out with anyone else before... Ada sesuatu (sebenernya banyak sih kalau dirunut satu per satu, tapi sekarang saya ambil satu point saja) yang membuat saya akhirnya yakin untuk menghabiskan sisa hidup saya bersama si suamik, yaitu... He loves me more than his ego... And I can feel it... Walaupun konon katanya laki-laki itu pridenya ada di ego-nya, tapi kok saya ngerasanya ngga gitu ya sama si mas. Mungkin... Ego-nya dia terpuaskan ketika akhirnya saya happy, gitu kali ya.

So... There was something happen yesterday. Saya ngga bisa bilang ini kejadian buruk atau tidak, karena sekarang saya sadar kalau segala sesuatu yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah pelajaran. Either a lesson or a blessing. Sesuatu yang akhirnya saya sadari kemarin malam, setelah sehari sebelumnya ngambek lagi ke suami yang luar biasa sabarnya dan baik hatinya mengalah untuk saya. Huhuhuu... I love you, suamik...

Yang adalah perkara kecil, yaitu : Saya bosen. Saya bosen baca buku. Saya bosen nonton tv. Saya bosen dengan handphone. And... Si suamik ketiduran. Persis di sebelah saya. And I dont know how it turned me crazy dan jadinya ngambek sampe besok paginya. Bangun paginya pun saya masih bete. Huhuhuuu.. Payah dan cemen sekali ya. Pokoknya intinya saya aja ngga tau kenapa saya bete wkwk #pembelaan

Maybe... Keadaan di sekitar belakangan terakhir yang bikin saya jadi moody. Mungkin cuma excuse ya, karena seharusnya saya ngga boleh terpengaruh walaupun toxic person yang saya hadapi cukup membuat saya crazy over everyday. Beberapa bulan belakangan saya jadi orang yang ngambekan dan 'berubah' katanya si suamik. Dan parahnya lagi... Sewaktu saya tanya, "Terus gimana dong sekarang, karena aku berubah, kamu udah ngga bahagia ya sama aku?" si suamik bilang, "Bahagia kok, cuma berkurang bahagianya. Nggak 100% lagi." Huaaa rasanya langsung remuk sampai ke tulang pada saat itu :( Langsung berasa jadi istri yang gagal huhuhuu...

Kabar baiknya adalah... Si suamik ngomongnya masih tenang, tone-nya masih rendah, masih elus-elus bahu, masih deket-deket... Pokoknya masih sabar banget, sementara saya... Cuma bisa diem, kezel, bete, mau kabur, tapi diem juga sih ngga ngomong apa-apa wkwk (Intinya saya emosik banget lah hahaha) Makanya waktu kita akhirnya baikan beberapa jam kemudian, saya nyesel banget udah emosik dan ambekan huhuhu.. Soalnya katanya si suamik, kalo saya ngambek, dia jadi stress. Maunya dia, saya itu bahagia. Kalo ngambek, berarti ngga bahagia. Huft.

Sebaik itu dan sesabar itu loh suami saya... Sampai akhirnya ketika saya sudah dibaik-baikin dengan segala ketotalitasan (mudah-mudahan ini bahasanya ngga mubazir) saya nyesel dan sedih banget kenapa bisa sengambek itu ke suami saya, hiks. Terus saya nangis dong saking sedihnya. I really didnt now how to handle my feeling. The angry but needy - sad and feel sorry - boring feeling that screw my day. Terus si suamik (dengan gaya ngocolnya seperti biasa) cuma bilang, "Duh udah udah jangan nangis, ingusnya kena aku nih." -_______- Terus saya dielus-elus, disayang-sayang lagi, terus jadi nangis lagi huhuhuuu.... Sesedih itu, ngerasa jadi bad wife yang ngga bikin suami bahagia. He only asked, "Please jangan ngambek lagi ya... Aku stress kalo kamu ngambek." Hiks.

I wish I can arrange my mood easily like I arrange my 'to do list" everyday before I start the day... Harusnya bisa sih ya. Mesti lebih teliti lagi untuk atur mood sendiri. Pokoknya selagi saya masih belajar untuk menolak terpapar radiasi negatif dari orang lain, yang bisa saya lakukan sekarang adalah menyiapkan fondasi yang lebih kuat. Me time and Our time (saat teduh, berdoa pribadi dan bersama, cause He is the only One who can help) dan ngga menghadirkan orang-orang negatif, even melalui obrolan di dalam rumah kita.

Semoga saya bisa ya... Huhuhu... Cause I owe my husband the world... As he always made my world wonderful


Friday, 2 November 2018

The Academic Journey Rose Again

Hola!

Its me again hehehe (yawla saking lamanya ngga nulis sampe grogi gitu mau ngobrolin apa wkwk)

Ok, tanpa basa basi, langsung tembak di tempat topik yang akan dibahas kali ini. Tak lain tak bukan adalah ............ data.
Loh kok data?

Hmm, jadi gini. Ini adalah bulan ketiga saya masuk ke dunia pekerjaan kantoran lagi. Walaupun mati-matian berniat untuk tidak akan baper lagi di dalam dunia pekerjaan (seperti yang sudah-sudah), tetapi saya masih kecolongan. Di bulan kedua kemarin merupakan neraka dalam dunia pekerjaan lagi buat saya (serius deh ini ngga lebay. Lebay sih, dikit tapi wkwk) yang mana saya terjatuh ke lubang yang sama, yaitu sesuatu perasaan emosionil yang disebut sebagai baper oleh anak Jaksel. Nah loh, kok bisa gitu? Katanya fighter... Tahan banting... Ngga mau baper lagi... Maunya profesional aja, biar fisik dan otaknya aja yang dipakai, hatinya jangan... Tapi ku tak bisa... Ku tak sanggup... Ku masih cinta #loh?!

Ngga deng. Jadi begini pemirsa yang budiman yang saya muliakan. Yang namanya pekerjaan, pasti ada targetnya dan jobdesc-nya. Betul? (Betuuuuul...... *anggap aja ada yang jawab). Nah, sebagai insan manusia yang tak luput dari salah dan dosa (apeulah ini lagi) saya mungkin saking totalnya dalam bekerja itu tadi, tanpa saya sadari akhirnya saya melupakan prinsip yang sudah saya pupuk sekian tahun dalam alpa-nya saya dari dunia perkantoran.

Simpel banget padahal mantra yang sudah saya lafalnya dalam 2 tahun terkahir ini yang sering jadi batu sandungan yang bikin lutut saya terluka ketika kepentok : "Bekerja lah dengan fisik. Diaduk di dalam otak. Jangan sekali-kali bekerja dengan hati."

Nah loh, terus apa kabar dong dengan petuah-petuah yang sering kamu dan kamu dengar itu, "Bekerja lah dengan hati. Niscaya tidak akan merasa terbebani."

NO WAY! Itu pembodohan massal saudara-saudaraku. Percayalah.... Tidak ada bekerja dengan hati yang membuat kamu tidak merasa terbebani. Malah kebalikannya, kamu, kamu, kamu dan saya pastinya akan lebih terbebani karena rentan dengan yang namanya : S-a-k-i-t-h-a-t-i.

Loh kok bisa? Ya bisa dong, kan namanya manusia. Bukan robot. Ya kan?

Nah, berhubung saya adalah salah satu manusia yang mempunyai hati yang sehalus salju yang gampang meleleh seperti cokelat leleh di atas Mc flurry-nya McD ...... (&^^@$#*@) Ya maap pemirsa, baiklah saya akan pokus. Tapi beneran, saya tuh anaknya kan tulus banget ya. Maksudnya hatinya tuh nggak jahat, nggak bisa jahat juga, nggak bisa jadi artis sinetron lah pokoknya, nggak bisa gantiin Marshanda kalau dia lagi nggak mood syuting. (Mulai susah untuk fokus)

Yah, mudah-mudahan kalian paham lah para pembacaku yang budiman, apa maksud hati aing ya. Karena beneran saya udah ngga fokus lagi hahahaha (terus ditabok massal)

*********** ini beneran kali ini fokus deh ************

Jadi, yang saya maksud bekerja dengan fisik dan otak itu adalah bener-bener bekerja dengan fisik. Berfikir, mengerjakan tugas (tasks) sampai capek, lelah, pakai waktu semaksimal mungkin untuk mikirin tasks yang kita punya. Hindari (jangan pernah mau) untuk pakai hati dalam bekerja, dimana penggunaan hati dalam bekerja itu bisa bikin kamu dan saya :
1. Ngarep untuk diapresiasi (manusiawi)
Siapa sih yang ngga mau diakui (Saya sih cukup diakui sama suami saya saja sudah cukup sekarang, beneran). Jadi ketika harapan kamu untuk mendapatkan apresiasi setinggi-tingginya, yang menurut kamu 'pantas' untuk kamu dapatkan, tetapi tidak diberikan oleh rekan kerja atau orang-orang di sekitar kamu, maka ada kemungkinan untuk terjadinya konflik. Internal dan eksternal. Internalnya kamu menjadi murung, depresi, mikirin mulu, "Kenapa ya mereka nggak apresiasi aku?" di samping ekternalnya adalah kamu jadi sensian dan suka marah-marah dan akhirnya lingkungan sekita kamu jadi gerah sama kamu. Maka..... saran saya adalah : open your eyes wide open. Lihat sekitar itu sebaik dan sedetail mungkin. Gausah terlalu banyak pakai hati untuk ngarep ini itu, pengen dilihat. Banyakin melihat. Paham ya maksudnya? (Paham bu....... *anggap ada lagi yang jawab)

2. Emosi jiwa (perempuanwi, lebih khusus dari manusiawi)
Nah, ini adalah salah satu yang menjadi kendala bagi para perempewi maupun laki-laki yang berjiwa perempewi, mau berapa persen pun banyaknya wkwkwk. Bok, yang namanya perempuan itu ya, setiap bulan ada hormon yang bikin dia jadi godzilla. Nggak ada yang rese alias semua kondisi di sekitar dia aja baik-baik aja, dia bisa uring-uringan sendiri pengen makan guling (kalo saya sih makannya B guling hmm), konon lagi kalau ada yang berani-beraninya menyikut lengannya sedikit saja. Habislah kau. Perempuan yang emosian ini yang sulit-sulit gampang untuk ditaklukkan, tapi sebenernya paling gampang juga untuk disembuhkan. Yaitu, itu tadi, jangan pake hati. Emosi lah dengan pikiran, jangan dengan hati. Tapi ya yang namanya perempewi, kalo emosi bisa dua, 1) Jadi males dan 2) Jadi sakit hati. Jadilah individu yang pertama. Hindarilah hal-hal dan orang-orang yang bisa bikin kamu makin sakit, di samping sakit fisik yang memang mengganggu di bulan-bulan itu. Kapan ya peraturan tentang cuti datang bulan untuk wanita bisa diaplikasikan secara merata di semua instansi di Indonesia ini. Saya mendukungnya!

3. You do your best, but still.....
Nah ini lah yang terjadi dan berulang kejadian di diri saya. Secara ya saya anaknya nothing to loose, maka saya akan bekerja secara totalitas sampai itu tadi, lelah secara fisik dan pikiran, tapi hati yang lempeng aja. But when someone try to colek-colek you at your best performance, sakit hati dan "udah males ah" pun tak terhindarkan. Paham kan, kenapa saya selalu melafalkan "Ayo jangan bawa hatinya kalau bekerja." Lebih baik sedikit macam robot lah, tegaan dikit tidak apa, asal jangan sampai sakit hati aja. Soalnya ya dimana-mana orang yang tidak sepaham dengan kamu itu pasti ada. Ada pula yang muncungnya minta dicucuk pake cabe rawit ditambah andaliman kan. Jadi mendingan kalau mau lama dan fokus dengan tasks itu tadi, ga boleh banget pake hati. Anggep aja radio rusak wkwkwk

And..... Last but not least, bekerja lah secara akademis. Maksudnya apa nyah? Kalau di bidang akademis itu, apa-apa terukur. Jadi bekerja dengan data. Data itu pun dituliskan, dirangkum jadi source untuk patokan kita dalam bekerja. Nah, oleh karena itu... Untuk menghindari diri saya sendiri dari maut... dari baper sama kerjaan deng maksudnya wekekekek... Saya akan memperbanyak diri untuk belajar dari literatur ilmiah lagi. Tiap minggunya saya akan mereview satu buah jurnal internasiyenel untuk menambah ilmu kita bersama. Jadi kamu dan akuh jadi tambah pinter deh, jadi ngga baper lagi deh, karena yang dipake otaknya, bukan hatinya.. Ya kan ya kan ya kan....

So.... Tunggu ya review akuh yang pertama nanti atau besok (semoga ngga males yawla) biar kita kembalikan prinsip bekerja tanpa baper itu ke tempat yang seharusnya.

Ok deh pemirsa, sekian dulu pembahasan tentang judul yang hanya muncul di akhir tulisan ini. Semoga menginspirasi kamu, kamu, kamu, dan saya.

Peace, love and gaul 💋❤

Sunday, 2 September 2018

Big Day Tomorrow! First Day at Work

Hola! Big day is coming tomorrow! First day saya memasuki kantor yang baru hehe. Seperti anak sekolah yang mempersiapkan hari pertama tahun ajaran yang baru, saya juga baru saja selesai menyiapkan seluruh barang bawaan dan peralatan saya dimasukkan ke dalam tas, baju untuk dipakai besok sudah siap dan rapi, serta tidak ketinggalan make up baru sudah dibelanjakan tadi sore. Terima kasih bapak suami atas sponsornya hehe

Terasa dan juga tak terasa, sudah dua tahun saya vakum dari dunia perkantoran setelah resmi resign dari LDC di bulan Oktober 2016 yang silam. Awalnya, saya resign karena merasa waktu saya hampir habis di LD, sementara kuliah saya tidak terjamah lagi, disamping alasan fundamental satunya, yaitu janji sang atasan yang (menurut saya) tidak ditepati :") Perasaan saya aja kali ya hehe

Seingat saya, saya menangis agak drama ketika hari terakhir saya di LD. Hari berkabung yang dikenal dengan istilah last day sekaligus traktiran day. Entah kenapa yang resign disuruh traktir, padahal kan sudah resmi tidak berpenghasilan lagi ya ckck. Tapi bukan traktirannya yang membuat saya menangis drama waktu itu, tapi karena saya sangat dekat dan akrab dengan teman-teman LD Medan. Mulai dari pekerja harian, ibu-ibu hand picker, Pak Afif si supir buaya darat (peace, Pip :p), Gelora si anak Sidikalang yang menjadi rekan berbahasa Karo di kantor, edak Novrin yang memulai hari pertama di LD juga barengan dengan saya, Pak Cipto yang sangat kebapakan dan sabar di LD, bang Taufik si trader baru pada waktu itu dan dia kocak banget, cepat blend in dengan kami yang rada aneh ini, mbak Septy yang jadi boss sekaligus kakak saya di kantor, juga si om Teguh, finance yang meditnya ampun-ampunan tapi kalau untuk entertaint nomer satu sekantor alias nggak perhitungan untuk antar jemput kita semua asalkan dia ada temannya untuk sekedar nonton bioskop ckck.

Sedih. Sedih sekali malah. Saya tidak mengira bahwa mengangkat kaki dari LD membuat saya menangis sesedih itu seperti putus cinta 💔 Terbayang hari-hari yang saya habiskan tertawa sedari pagi sampai sore pulang kantor, dilanjutkan dengan agenda entertaint ala kami walaupun hanya makan Indomie pinggir jalan tapi sudah bahagia. Horor ketika musim audit atau boss besar sedang kunjungan juga dilewati bersama bahu membahu, dukung pekerjaan satu sama lain. Bisa dibilang bekerja di LD adalah moment 'ngantor' terbaik dalam hidup saya dengan support system yang terbaik. Tidak jarang saya juga merasa hampir gila dengan beban pekerjaan dan tuntutan atasan untuk kinerja, tapi dengan teman-teman kantor yang ada saja ulahnya bikin tertawa, rasanya urusan pekerjaan jadi lebih ringan. Sampai sekarang pun kami masih sering bertukar cerita walaupun satu persatu sudah angkat kaki juga dari LD dan menyongsong peruntungan di kantor lainnya. Benar-benar pengalaman yang saya akan selalu ingat dan banggakan untuk diceritakan sampai kapan pun :)

Tidak lama setelah saya resign dari LD, ibu saya masuk rumah sakit secara intensif dalam waktu yang tiba-tiba dan akhirnya meninggal. Selama dirawat, saya hampir setiap hari dalam sebulan lamanya menghabiskan waktu di rumah sakit. Tidur di rumah sakit, makan di rumah sakit, pulang ke rumah hanya beberapa jam untuk mandi, menyiapkan pakaian untuk dipakai selama jaga di rumah sakit, selama sebulan full hidup saya di rumah sakit bersama dengan keluarga. Saya bersyukur, entah memang sudah rencana Tuhan bahwa saya harus resign dan punya waktu full untuk berjaga dan menghabiskan waktu-waktu terakhir ibu saya di dunia, saya bersama ayah dan saudara-saudara saya bergandengan tangan menguatkan saru sama lain dan menghadapi kehilangan dengan pelukan dan genggaman tangan yang erat. Tidak ada satu orang pun yang terpuruk dalam waktu yang lama. Genggaman erat itu menguatkan kami, sedari awal ibu kami masuk ruang perawatan biasa, masuk ICU, pindah rumah sakit, ICU lagi, sampai detik-detik terakhirnya, ibu kami menyatukan kami dengan sisa-sisa kekuatan yang kami punya. Full time waktu saya hanya untuk keluarga saja pada waktu itu. Hingga di tanggal 22 November 2016, saat terberat yang pernah dihadapi oleh keluarga kami, kami songsong dengan ketidaktahuan tentang hari esok seperti apa. Syukur kepada Tuhan yang memang sudah menyiapkan semua yang kami butuhkan, dukungan dari orang-orang di sekitar kami yang semakin menguatkan kami untuk bangkit berdiri dan semakin gigih berdoa supaya kami tidak rubuh dengan cobaan itu.

Mbak Septy dan Gelora adalah teman pertama yang datang menghampiri saya ke rumah sakit begitu mendengar berita tentang kepergian ibu saya. Jam 12 malam mereka datang disaat saya harus menguatkan diri melihat jenazah ibu saya untuk pertama kali setelah dipindahkan dari ruang ICU, sebelum dibawa masuk ke ambulans yang akan mengiringi kami ke Kabanjahe. Mbak Septy yang memeluk saya ketika saya hampir tumbang karena tidak kuat diminta untuk merias wajah ibu saya untuk terakhir kalinya karena setelah disuntikkan formalin mungkin tidak akan bisa dirias lagi. Rasanya benar-benar seperti dunia runtuh, tetapi ada tangan-tangan yang membantu menopang langitnyang runtuh itu sehingga saya habis ditimpanya. Anggota keluarga saya yang lainnya juga masih limbung di saat itu. Jadi kedatangan mbak Septy dan Gelora merupakan suntikan kekuatan di titik awal perjalanan saya sebagai anak yang kehilangan ibu untuk selamanya. Mbak Septy juga yang mengingatkan saya, "Untung kamu udah resign ya Ha, kalau masih kerja nggak mungkin dikasih izin untuk tiap hari jaga di rumah sakit. Memang benar-benar rencana Tuhan."

Dan begitulah, sepeninggal ibu saya, saya mencoba menata hidup saya kembali. Dimulai dengan kembali berkuliah supaya saya punya kegiatan untuk mengalihkan perhatian dari rasa kehilangan, begitu pesan ayah saya. Di samping itu, saya juga memutuskan untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan ayah saya dan menemaninya di rumah karena bagaimana pun rumah akan berbeda situasinya tanpa ibu yang biasanya mengatur dan menyiapkan segala keperluan domestik rumah tangga. 80% hidup saya untuk rumah dan support ayah dan keluarga, 20% untuk perkuliahan. Tidak ada keinginan untuk kembali bekerja pada waktu itu. Sama sekali tidak ada. Tidak sanggup lagi untuk pergi jauh dari keluarga. Bahkan sangkin tidak inginnya meninggalkan ayah dan keluarga saya, saya sempat minta putus ke bapak suami yang waktu itu masih menjadi pacar, karena saya tidak sanggup jika harus dibawa ke Bali dan meninggalkan ayah saya. Lagi-lagi Tuhan yang menguatkan dan membukakan jalan, perlahan tapi pasti keluarga saya semakin dikuatkan, sampai akhirnya saya siap untuk pindah ke Bali di bulan April 2018 yang lalu. Hebatnya lagi, pernikahan yang seyogyanya diurus lebih banyak oleh ibu, berhasil diselenggarakan dengan teramat sangat baik oleh ayah saya, dengan dukungan penuh oleh kerabat dan keluarga terdekat, juga oleh keluarga suami saya. Sebuah bukti pencapaian bajwa ayah saya sudah semakin kuat menjalankan perannya sebagai orangtua tunggal sekarang. Will always remember and proud of him ❤

Masuklah saya ke chapter baru dalam hidup saya. Menikah dan pindah ke Bali. 2 hal yang sangat indah dan saya impikan, sekaligus 2 hal yang penuh tantangan. Menikah tentu jadi pengalaman baru untuk saya, begitu juga untuk tinggal di Bali. Untuk penyesuaian keduanya sekaligus, saya akui saya mengabiskan pikiran dan waktu untuk berhati-hari menyusun strategi. Kembali bekerja memang salah satu agenda yang menjadi target saya, apalagi dengan titel baru sebagai lulusan magister. Siapa sih yang tidak 'gatal' untuk mencoba peruntungan dengan 'kartu baru' yang sudah ditangan itu?

Percobaan demi percobaan saya lakukan, interview dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya disela-sela menjalankan status baru sebagai isteri yang siap sedia mengurus domenstik rumah tangga dan penyesuaian hidup berdua dengan suami. Saya cukup perhitungan dengan setiap keputusan yang saya ambil, termasuk untuk menerima tawaran pekerjaan. Alasan jarak kantor dari rumah, kesesuaian gaji dan tunjangan, termasuk bidang usaha perusahaan dan peluang bagi pengembangan diri saya sendiri saya rinci sedetail mungkin.

Akhirnya tibalah saya di sebuah keputusan dan kesempatan yang berpotongan. Saya akan mulai bekerja di kantor lagi untuk pertama kalinya di Bali ini besok. Proses test dan interview dengan perusahaan ini sebenarnya sudah deal dari awal bulan Mei 2018 kemarin. Dengan kata lain, jika saya setuju sedari awal, saya tidak akan 'menganggur' selama 4 bulan semenjak pindah ke Bali. Lagi-lagi saya yakin ada rencana terindah dari Tuhan di balik penolakan saya sebelumnya, saya punya kesempatan untuk interview dengan sebuah brand lokal yang mengusung prinsip socialpreneurship, dimana perusahaan ini sesungguhnya yang saya tunggu kabarnya. Tapi sudah sebulan tak kunjung ada beritanya setelah interview kedua saya dengan CEOnya. Positive thinkingnya (pemikiran positif saya maksudnya) mereka sedang fokus dengan Asian Games yang membuat mereka lupa dengan proses yang sedang saya jalani. Sebagai salah satu brand yang menjadi official merchandise di ajang bergengsi ini, tidak heran mereka harus fokus dan mengesampingkan dulu urusan pencarian 'kaki baru' untuk di Bali. Semoga setelah event besar ini selesai, mereka akan mengirimkan email cinta seperti yang sudah-sudah ya. Hahaha anaknya ge-eran sekali ya saya ini 😂

Lalu disaat saya (akhirnya) memutuskan untuk bekerja sama dengan perusahaan yang akan saya masukin besok, tawaran lainnya juga masih berdatangan, karena saya juga masih menyebarkan CV sebelumnya (tapi sekarang sudah berhenti karena hampir lelah dengan proses test dan interview :p). Untuk posisi yang berbeda, bidang usaha yang berbeda, saya masih melanjutkan proses interview dan test untuk si perusahaan yang jaraknya  lebih jauh lagi dari perusahaan yang besok saya masuki. Saya yakin dan percaya, dimanapun akhirnya nanti saya melabuhkan hati dan pikiran, atau perusahaan manapun yang akhirnya bisa menerima saya dengan kekurangan dan kelebihan saya, dia lah jodoh saya yang sebenarnya. Seperti halnya saya akhirnya menemukan suami yang sangat sesuai dengan kehidupan yang saya butuhkan ❤

So... Wish me luck for tomorrow! Doakan supaya saya bisa menemukan keluarga baru seperti keluarga baik saya di LD ya ❤ Tentunya semoga saya juga bisa memberikan kinerja yang maksimal dengan titel baru yang saya emban, biar kuliahnya tidak sia-sia :")

Good night semuanya...

Tuesday, 14 August 2018

Best Friends Forever : Webzea

Cerita ini bermula ketika sekumpulan gadis belia tersandingkan oleh takdir menjadi sahabat di masa SMA. Kami semua tidak pernah duduk di kelas yang sama, tapi hampir setiap hari nongkrong di kantin dan sepulang sekolah bareng.
.
Singkat cerita, masing-masing berpencar semasa kuliah dan hidup dengan episode yang berbeda pula. Sekali setahun diusahakan temu muka di waktu Natal atau Tahun Baru. Sisanya obrolan dari media sosial. #terimakasihteknologi
.
Lalu ada lompatan episode kehidupan dimana Debbie, anggota genk termuda memutuskan untuk menikah dengan pilihan hatinya. Kami semua (sejujurnya) shock. Di umur 20-an awal, dimana kami sedang menjalani transisi dari episode kuliah ke dunia pekerjaan profesional, sahabat kami ini sudah duluan ke epidose selanjutnya. Menjadi istri, kemudian menjadi ibu.
.
Awalnya kami masih suka bertanya, "Deb, gimana rasanya sudah menikah dan tinggal mandiri?" Dia ikut suaminya yang berprofesi sebagai pendeta mengabdi di sebuah desa terpencil yang (sejujurnya lagi) membuat kami lagi-lagi terperangah. (Pada masa itu menikah belum jadi trend yang populer di orang-orang seumuran kami)
.
Singkat cerita lagi, akhirnya Oneng menikah, Monica menikah, saya menikah, dimana ternyata saya dan Monica juga mengikuti jejaknya Debbie. Ikut suami pindah keluar kota. Buat saya pribadi, banyak pelajaran tentang mengikut suami yang saya dapat dari 2 sahabat ini. Terutama tentang struggle di tempat dan lingkungan baru. Ternyata semesta tidak secara acak membuat kami menjadi sahabat, rantai pengalaman kami berkaitan hehe.
.
Di beberapa kejadian yang kurang mengenakkan pun ternyata kami beririsan. Takdir memberikan kami pengalaman tentang kehilangan. Saling menguatkan dan menjadi tong sampah satu sama lain, dimana kami memang sudah nyaman untuk mengeluarkan uneg-uneg yang dimengerti satu dengan yang lainnya.
.
Untuk urusan karir dan keistripedia-an, sekarang saya sendiri banyak sharingnya dengan Oneng. Mungkin emg sudah ditakdirkan punya beberapa pemikiran yang sama, kami sering berbagi info-info terbaik tentang pasangan milenial.
.
Sebentar lagi, kami akan menyambut Pepes di episode yang sama. Selalu seru rasanya ketika salah satu dari kami pindah dari episode yang satu ke episode yang lainnya. Walaupun tidak bertatap muka sesering dulu, setiap langkah yang kami jalankan selalu lebih ringan mengingat ada sabahat yang menopang dalam doa.
.
Webzea (2004 till forever)

Friday, 10 August 2018

Contemplation 10 Agustus 2018

Home at Nusa Dua, 4 a.m

Greetings from husband's wamest arm alias kebangun tengah malam karena hujan deras dan nggak bisa tidur lagi karena hujannya berisik dan akhirnya pikiran ngalor ngidul kemana-mana makin nggak bisa tidur.

Supaya yang numpuk di dalam otak bisa tertib keluar, ya mari ngeblog aja dari handphone sambil (masih) kelonan dengan suami yang akhirnya sudah tidur ini.

So, jadi yang pengen 'dikeluarkan' kali ini adalah tentang marriage after life. As you know guys, we have been married (masih) about 4 months now. Ada review-nya? Ya pasti dong. Buuuanyak malah. Seru-serunya, sedih-sedihnya (belum pernah sampe sedih banget sih, selain dari homesick kangen keluarga di Medan ya), terus happy-nya, yang bikin kesabaran teruji... Pokoknya banyak deh rasanya, nano-nano! ☺

Bahas yang enaknya dulu kali ya, biar seru! Hehehe

Menikah itu menyenangkan? Oh iya pasti. Bisa kelonan tiap malam kayak sekarang ini, masa nggak senang sih? Dijagain, kalo kebangun ditemenin, kalo susah tidur diusap-usap dulu sampe tidur, kalo kedinginan diangetin... Pokoknya nggak perlu guling lagi deh. Wkwk ;p Terus bangun tidur, udah ada temennya di sebelah yang bisa didusel-dusel. Nyaman!

Itu poin pertama yang sudah pasti bikin happy. Nah, poin keduanya adalah dinafkahin sama suami yang puji Tuhan cukup, walaupun nggak berlebih tapi masih bisa nabung. Jadi setiap tanggal gajian gitu, suami ngelapor, "Istriku aku udah gajian." Terus kita bareng-bareng plot-plotin berapa ke tabungan, berapa ke pengeluaran bulanan, pegangan masing-masing, dll menurut saya menyenangkan dan jadi pengalaman baru. Hehehe

Poin ketiga, yang paling penting adalah setelah menikah, kita jadi punya teman, sahabat, rekan yang bisa kita ajak ngobrol tiap hari, diskusi tentang topik-topik yang penting, bikin keputusan yang crusial untuk kita berdua... Jadi selalu merasa kalau kita tuh nggak sendirian dalam menjalani hidup ini. Jalannya udah berbarengan, lebih kuat karena ada temennya. 

Nah itu sisi menyenangkannya ya. Masih ada hal-hal menyenangkan lainnya mungkin yang belum disebutin atau yang mungkin dirasain tapi belum bisa diungkapin karena nggak nyadar juga hehe

Masuk ke sisi yang 'kurang enak' yang dirasain setelah menikah. Jahat sih kalau dibilang nggak enak, tapi ya kalau dirasain emang nggak enak. Hehehe... Atau kita sebut sebagai hal yang penyesuaiannya nggak gampang aja kali ya. 

Tapi... Ini menurut pengalaman saya ya. Bisa jadi pengalaman orang diluar sana beda-beda. Jadi jangan disamain ☺

Ok, pengalaman berat pertama adalah proses ngambil keputusan jadi lebih lambat. Jadi ini sebenernya sisi lain dari poin ketiga dari hal yang menyenangkan dari menikah tadi dong... Jawabannya iya. Kalau dulu sebelum menikah kan apa-apa diputusin sendiri, cepat, tanggap, mau kemana tinggal cusss go! Nah, kalau sudah menikah, ruang gerak jadi lebih terbatas shay... Nggak boleh asal cuss tinggal pergi lagi. At least kasih tau dulu, atau minta izin dulu. Pernah kejadian malah saya tuh pergi sama temen cowok dan berfoto bareng, dimana ternyata hal tersebut dianggap tidak layak oleh suami dan mertua. Kebayang doong shock-nya pertama kali diposisi seperti itu. But, it is

Kalau kata Gilang, sahabat saya pas kuliah, kalau sudah menikah tuh apa-apa harus dengan ridho suami. Termasuk untuk kerja. Kalau suami ngizinin, ok go ahead. Kalau nggak, ya jangan ☺

Terus, yang kedua... Bagi introvert seperti saya (Iya, saya introvert) susah untuk blend dengan lingkungan yang bukan dari awal adalah circle saya. Kalau kalian sering dengar orang bilang menikah itu artinya menikah juga dengan keluarga besar, bener banget lah itu. Karena yang kamu temuin tiap hari adalah suami kamu, tapi kamu harus blend dengan keluarga lain yang mungkin kamu bahkan nggak tau namanya siapa. But you have to push yourself hard. Family matters you know...

Hmm terus apa lagi ya?!

Kayaknya itu dulu sih yang kepikiran. Nanti kalau ada yang keinget lagi, saya update lagi heheh.

Tapi ini bukan curhat ya, tadi karena kebangun jadi mikir kemana-mana aja tentang pernikahan hehehe ☺Menikah itu banyakan menyenangkan kok, kalau... kamu bisa bawa pernikahanmu ke hal-hal yang bisa bikin happy tiap hari!

Cheers...

***

Mari lanjut tidur, tarik selimut, masuk ke suami's arm lagi...

Tuesday, 24 July 2018

Belajar Ekspor Impor Yuk!

Source : pixabay

Hola!

Nah akhirnya keluar juga kan tulisan tentang si mantan pekerjaan ini. Si Poypoy sih tiba-tiba telfon tanya banyak tentang cara ekspor ke luar negeri. Jadi ceritanya, dia mau ekspor barang ke luar negeri tapi belum punya pengalaman, coba gugel, masih bingung juga dengan istilah-istilahnya yang memang ngejelimet.

Flash back ke belakang sedikit, saya kan pernah kerja di Louis Dreyfus tahun 2015 sampai 2016. Yep, hanya setahun lagi-lagi haha... Milenial sekali ya memang, tiap tahun ganti pekerjaan ☺Nah, pas pertama kali masuk ke LD, saya tuh butaaaa banget lah sama yang namanya ekspor impor. Dulu si William, tim dari Lampung yang ngajarin saya, kayaknya hampir give up karena tiap hari saya tanyain semuanya mulai dari hal yang kecil, seperti istilah dalam trading, sampai hal yang harus kudu ngerti banget, seperti pricing.

Jadi, saya di LD itu posisinya sebagai execution. Kerjaan utamanya awalnya sih harusnya jadi support pembelian, karena jadi execution trade. Ada lagi yang execution juga, bagian yang fokus mengurusi tentang shipment dan logistik. Di awal saya masuk ke LD itu, executionnya nggak ada sama sekali, jadilah saya ngurusin bagian purchase dan logistik sekaligus. Tapi masih dibantuin sama William sih dari Lampung. 

Terus tadi ada pertanyaan dari Poy, apa itu FOB alias Free on Board. Kalau dulu di LD, istilah FOB sering diselewengkan menjadi F**k on Behind hahaha! Emang ya kalau udah stress sama kerjaan, apa aja dijadiin lawakan sama orang kantor, termasuk si FOB yang emang sering banget dipakai dalam kegiatan kita sehari-hari di kantor. Kegiatan pekerjaan yang sebenernya ya maksudnya, bukan FOB yang itu hahaha

FOB disini artinya adalah harga yang kita tawarkan kepada pembeli itu adalah harga sampai barang berada di atas kapal, mulai dari barang berangkat dari gudang kita. Sedangkan untuk ongkos kapal atau EMKL, belum termasuk. Nah, biasanya si pembeli sudah punya refensi untuk kapal yang digunakan, jadi mereka yang bayar ongkos kapal sampai penarikan barang dari pelabuhan ke gudangnya mereka.

Kebalikannya dari FOB adalah CNF alias Cost and Freight. Kalau yang ini, freight atau pengiriman barang sudah digabung ke dalam penawaran harga kepada pembeli. Jadi buyer atau pembeli membayar keseluruhannya, tetapi belum termasuk asuransi barang. Kalau yang sudah include asuransinya, namanya CIF alias Cost, Insurace and Freight. Pembeli tinggal terima bersih deh di tempatnya.

Yang menjadi kendala biasanya dalam kegiatan ekspor impor adalah rules atau kebijakan yang diterapkan masing-masing negara untuk barang ekspor ataupun impor itu beda-beda. Makanya sebelum melakukan penawaran dan pembelian barang dari luar negeri, kita mesti mencari tahu dulu nih peraturan di negara tujuan dan negara kita sendiri juga. Jangan sampai barang sudah kita siapkan, kontrak dengan pembeli sudah deal, tapi barang tidak bisa berangkat karena ada dokumen yang kurang lengkap, atau barang itu memang tidak boleh masuk ke negara tujuan. 

Seperti kopi misalnya, barang yang menjadi komoditas perdagangan yang saya pegang di LD. Kopi dari negara lain masuk ke dalam Indonesia pada umumnya sama prosedurnya dengan proses kirim ke negara lain, dokumentasinya juga hampir sama. Tapi pernah kejadian, barang sample dari Singapura yang jumlahnya hanya 2 kilogram tidak bisa masuk ke Indonesia karena tidak ada dokumen kesehatan atau fumigasinya (saya lupa persisnya apa), padahal biasanya kalau untuk sampel saja bisa lolos sebelumnya. Jadi emang perlu komunikasi yang baik dengan pihak bea cukainya juga.

Nah, kalau kalau mau lebih simpel dan nggak ribet lagi, ada jasa yang menawarkan untuk membantu proses ekspor impor. Jadi sebagai pedagang ataupun pembeli, kita nggak perlu bingung dan repot lagi. Namanya forwarder. Bedanya dengan shipping agent, kalau forwarder ini biasanya mau mengurusi semua dokumen tentang barang juga, seperti sertifikat kesehatan komoditas dan keaslian barang dsb, sementara shipment agent biasanya hanya mengurusi tentang shipment dan kargo. Mudah-mudahan kebayang ya penjelasan saya ini hehe

Kalau untuk detail peraturannya dan prosesnya, bisa digugel sendiri ya. Seperti saya bilang tadi, masing-masing barang dan negara itu peraturannya beda-beda. Jadi yang saya jelasin disini hanya gambaran umumnya saja.

Atau ada yang pernah kerja di ekspor impor juga? Share dong pengalamannya...

Monday, 23 July 2018

Belajar Membuat Keputusan

Source : pinterest
Siapa yang bilang memilih itu gampang? Lebih baik memilih salah satu daripada tidak sama sekali, begitu kan ya seringnya yang kita dengar? Atau hanya saya saja ya? Hehe

Terkadang memilih di antara dua pilihan itu jauh lebih sulit dibandingkan dengan membuat keputusan berdasarkan analisa sendiri. Pilih makan A atau B? Mau makan dimana? Lebih enak milih pertanyaan terbuka gitu kan ya (kalau saya sih iya hehe)

Membuat keputusan dari berbagai pilihan hidup juga seperti itu. Karir, jodoh, kehidupan sosial, sampai tempat untuk liburan rata-rata mempunyai banyak tawaran pilihan. Mau tinggal di Bali atau di Medan? Mau bekerja kantoran atau stay at home dan bekerja dari rumah? Mau masak atau beli makanan? Mau nonton atau ngopi? Mau beli baju atau beli anting? Mau pakai baju tipis atau sarung? 

Banyak sekali pilihannya. Setiap hari banyak pilihan yang ditawarkan. Yang besar dan yang kecil, yang simpel atau yang kompleks. Nah untuk yang masih bingung dalam memilih, dengerin deh apa katanya om Steve. Never make your most important decisions when you are in your worst mood.

Jadi jika dapat tawaran untuk pindah ke tempat kerja lain karena lagi berdebat dengan bos yang sekarang, atau mengambil pekerjaan tambahan tapi dibayar murah karena lagi bosan di rumah, atau memutuskan untuk resign karena belum tega untuk meninggalkan anak di rumah bersama PRT, atau memutuskan untuk pindah dari Jakarta karena baru putus dengan pacar, atau memutuskan untuk menginvestasikan uang dalam jumlah besar ke bidang teknologi karena tergiur dengan bisnis yang dimiliki teman-teman... 

Pindah kantor bukan berarti akhir dari semua masalah. Ok kalau bosnya masih lebih bersahabat dengan staff, tapi kalau jam kerjanya juga diluar batas, sama saja kan? Resign dan memilih untuk merawat anak memang pilihan yang mulia. Tapi apa sudah siap untuk tidak keluar rumah, kehilangan pendapatan yang bisa saja jadi bekal tabungan pendidikan yang baik untuk si anak? Berinvestasi itu memang baik, apalagi untuk orang yang belum mempunyai tanggungan wajib seperti anak dan istri, tapi apakah prospeknya sudah dipikirkan, atau hanya untuk ikut-ikutan saja? Hold on....

Membuat keputusan memang lagi-lagi bukan perkara yang mudah. Butuh tarikan nafas berkali-kali dan konsultasi dengan banyak pihak, membuat analisis SWOT tentang keputusan yang akan diambil, dan tentunya dengan banyak berdoa dan bahagia selalu supaya pikiran menjadi lebih rileks dalam mengambil keputusan. 

Tetap semangat, happy people! ❤

Sunday, 22 July 2018

Review Buku : The Happiness Project by Gretchen Rubin



One April day, on a morning just like every other morning, I had a sudden realization : I was in danger of wasting my life. As I stared out the rain-spattered window of a city bus, I saw that the years were slipping by. "What do I want from life, anyway?" I asked myself. "Well... I want to be happy." But I had never thought about what made me happy or how I might be happier.

Itu adalah sebuah paragraf dari buku The Happiness Project yang ditulis oleh Gretchen Rubin di lembar pendahuluannya. Dan... Pertanyaan yang sama juga yang saya pertanyakan ke diri saya sendiri selama bertahun-tahun, khususnya setelah melewati usia 25 tahun. Jawaban saya juga sama dengan si mbak Gretchen. Saya mau jadi bahagia, apa dan bagaimana pun caranya. Hehe siapa sih yang nggak mau hidup bahagia di dunia ini? Alasan untuk berbahagianya mungkin beda-beda untuk setiap orang ya...

So, awal cerita saya kenalan sama buku ini adalah dari sebuah review juga, sepertinya di blog. Atau saya iseng mampir di toko buku dan milih buku ini, sebenernya udah nggak begitu ingat lagi sih hehe. Dari catatan saya (saya selalu menuliskan tanggal pembelian setiap buku di halaman depannya) buku ini saya beli tanggal 2 September 2016. Sepertinya di Medan ya pada waktu itu. Belinya di Books and Beyond, harganya Rp 110.000. Jadi sepertinya saya belinya emang di Medan, karena saya beli di Books and Beyond hanya kalau di Medan. Kalau di kota lain mungkin di toko buku lain. Book and Beyond kalau di Medan adanya di Sun Plasa dan di Plasa Medan Fair. 

Balik lagi ke review bukunya, kalau saya sih suka banget ya buku ini. Bahasanya ringan, seperti bercerita dan banyak memang menceritakan tentang pengalaman pribadinya Gretchen dalam menjalani proses pencarian kebahagiaan di dalam hidupnya dia. Di dalam setiap chapter diceritakan tentang happiness project selama sebulan. Jadi buku ini berisi tentang project yang berhasil dilakukannya dalam setahun. Temanya berbeda setiap bulannya, mulai dari vitality, marriage, work, parenthood, friendship, money, attitude, sampai akhirnya happiness itu sendiri. 

Untuk orang yang sering menggebu-gebu seperti saya, juga sering kecewa berlebih kalau harapan dan targetnya nggak tercapai seperti saya, buku ini adalah semacam obat dan penenang ketika badai kekecewaan muncul melanda. Mungkin bagi orang yang hidupnya lebih santai kalau ada masalah, kalau ada orang yang nyebelin cuek-cuek aja, atau yang berpikiran kalau ini nggak cocok, yo wess masih ada yang lain, buku yang seperti ini mungkin nggak begitu penting. Eh apa penting juga ya? Haha saya nggak tau sih, tapi sih sepertinya begitu ☺

Kenapa saya bilang buku ini cocok buat orang yang gampang kecewa mendalam? Karena menurut pengalaman saya yang maunya banyak dan detail serta harus sesempurna yang saya bayangkan, buku ini menunjukkan banyak hal yang secara sederhana bisa disyukuri dan bahagia untuk hal-hal yang simpel, mengganti kekecewaan dengan menjadikannya cambuk untuk lebih belajar menghargai hidup dengan berbahagia. Misalnya, untuk mencapai kebahagiaan, Gretchen bercerita tentang feeling positif apa saja yang dia dapatkan dari fokus mencari sisi baik dari setiap tema yang difokuskannya setiap bulan. Untuk pekerjaan misalnya, tidak melulu tentang uangnya, dan untuk uang, tidak melulu tentang jumlahnya, tetapi alokasinya. Apakah alokasinya sudah cukup membuat Anda bahagia, atau hanya membeli karena gengsi duniawi?

Buku ini juga menjelaskan kalau bahagia itu dimulai dengan diri sendiri dan menghargai kebahagiaan diri sendiri. Karena itu tema vitalitynya dibuat di bab pertama. Vitality maksudnya disini tentang kebugaran tubuh, kesehatan mental dan pikiran, dan kehidupan yang lebih sehat dan seimbang. Setelah itu baru lanjut lagi ke tema-tema lainnya.



Saking sukanya dan terinspirasinya dengan buku ini, saya akhirnya membuat happiness project saya sendiri di tahun yang sama dengan pembelian buku. Selama sebulan saya posting kebahagiaan sederhana yang saya alami selama sebulan di Instagram. Saya posting tentang pengalaman saya hari itu, tentang foto teman-teman saya, tentang cita-cita yang membuat saya bersemangat, tentang quotes yang menurut saya bagus, dan tentu saja dimulai dengan foto selfie diri saya sendiri yang memutuskan untuk bahagia. Ajaib memang, saya seperti terbawa untuk berbahagia juga dalam setiap hari dalam sebulan itu. Saya juga belajar untuk berbahagia dengan lebih sederhana dan tulus. 



Sekarang saya taro buku ini dimana pun yang bisa tertangkap mata saya di rumah, jadi ketika saya mulai down atau stress, saya lihat aja si sampul buku dan mulai untuk memikirkan hal sederhana yang bisa membuat saya bahagia seketika, seperti : makanan sehat hehe

So, saya rekomen buku ini untuk dibaca oleh siapa saja yang suka membaca buku non fiksi, dalam Bahasa Inggris, suka belajar dari pengalaman orang lain dan suka berekperimen untuk lebih bahagia. Buku ini juga jadi Best Seller versi Newyork Times loh... Ternyata banyak yang suka seperti saya juga hahaha

Hamil (Ep. 1)

H a lo... Sesuai janji saya di post sebelumnya, kali ini saya akan membahas tentang kehamilan saya secara lebih detail. Kapan ketahuann...