Emang ya, siklus istirahat dan kesehatan itu korelasinya emang positif. 2 minggu lalu masnya lagi gila-gilaan lembur dan bahkan pernah sampe jam 7 pagi. 3 hari selanjutnya dia langsung kena usus buntu dan sampe sekarang masih bed rest.
2 hari ini giliran saya yang lembur ngerjain tesis tengah malam, karena siang suka gak fokus dan paginya gak bisa lanjut tidur lagi karena udah heboh berisik di rumah dengan si anak SD yang mau berangkat sekolah. Alhasil hari ini saya jadi zombie setengah sadar berkeliaran keluar rumah untuk lanjutin nulis lagi.
Gantian deh ceritanya, pas kemaren si mas yang lagi sering lembur, saya yang wanti-wanti untuk makan ini itu sepanjang hari, tapi emang dasar bandel ya, suka ga didengerin. Sekarang saya yang diingetin minum vitamin ini itu tapi saya juga bandel sih, belom minum juga hehehe
Mudah-mudahan sih saya gak ikutan sakit ya.
Biar ga gampang sakit, saya akhirnya olahraga lebih rutin lagi sekarang. Saya kan capeknya di pikiran ya, badan sih duduk doang, sama pola istirahatnya jadi berubah dikit. Nah, abis olahraga biasanya mood saya jadi makin enak, badan dan pikiran fresh, makan juga jadi lebih bernafsu makan banyak hahaha
Kesimpulannya adalah enakan capek fisik daripada capek pikiran.
Setuju??
Wednesday, 23 August 2017
Saturday, 5 August 2017
Kitchen Experiment
Belajar masak dari internet ;)
Pernah ditanyakan sama Miss Blitar alias Ika Pratiwi, "Gimana ceritanya sih Vi awalnya lu suka masak-masak dan bikin kue gitu?" Saya pun mengingat-ingat, kenapa yaaaaaaa...
Mencoba me-recall memori, akhirnya saya ingat alasan pertama yang membuat saya jadi kerajinan mengaduk dapur dan bereksperiment. Pas balik ke Medan, saya pernah kepingin sekali makan cheese cake yang dulu sering saya beli di Harvest. Di masa itu di Medan sini belum ada Harvest dan satu-satunya cheese cake yang saya temukan hanya dijual di Breadtalk. Namanya anaknya agak keras kepala ya, kalau pengen yang sebisanya ada.
Akhirnya entah dapat ilham darimana, saya buka internet dan mulai cari resep cheese cake. Pada masa itu belum punya oven dan baking tools, kak. Jadinya mengandalkan peralatan yang seadanya di dapur dan bikinnya cheesecake tanpa oven.
Percobaan pertama, not bad lah. Teman-teman kuliah yang jadi tester selain saya, karena saya bikinnya 1 loyang full dan di rumah hanya berdua jadi tidak habis. Kata mereka ya bolehlah.
Bikin kue ulang tahun untuk Valenda, sahabat dari SMA
Sebenarnya saya tidak awam dengan dapur. Saya suka makan dan mencoba-coba masak sendiri sejak masa kuliah. Yang mengajarkan saya masak pertama kali adalah Ibu. Ada pengalaman dimana saya dan Ibu belajar masak bersama, bikin ikan asam manis. Resepnya kita dapat dari buku masak. Setelah mencoba 2 kali dan berhasil, di sebuah acara (saya lupa acaranya apa, ingatnya hanya itu acaranya ramai karena mengundang banyak orang) Ibu mempercayakan saya untuk masak 1 menu itu. Bikin ikan asam manis untuk orang ramai. Wuihhhh, dipercayakan seperti itu rasanya sudah jago sekali. Sampai-sampai saya tidak mengizinkan orang lain untuk turut campur dalam menyiapkan dan proses memasak. Hahahaha
Tapi kalau untuk sehari-hari, ya saya bukan kitchen person juga, dulunya. Memasuki masa kuliah dan menjadi anak kostan dan tinggal di apartment setelahnya, jiwa suka coba-coba masak saya kembali muncul. Paling tidak untuk makan sendiri dirasa lebih sehat dan hemat jika dibandingkan setiap hari membeli makanan dari luar.
Kekinian mencoba bikin Japanese Cheese Cake yang lagi hitz
Sekarang saya sudah lebih rajin bereksperiment dengan peralatan masak yang lebih lengkap. Lebih effort. Setiap pergi ke pasar suka membayangkan resep yang belum pernah saya bikin, tetapi yang masih sehat dan bisa dimakan oleh sekeluarga. jadi tidak melulu mengikuti apa yang saya sedang pengen.
Minggu lalu, untuk pertama kalinya saya bikin arsik ikan mas. Beli bumbu yang sudah jadi sih, tapi untuk yang belum pernah bikin arsik sama sekali, saya ketakutan ketika mau mulai masak. Hahahaha agak lebay sih, tapi beneran. Arsik adalah makanan yang bisa dibilang comfort food di rumah saya, semuanya bisa makan, mulai dari keponakan yang masih balita sampai nenek bos yang sudah sepuh dan sensitif perutnya. Karena itu saya takut salah masak dan rasanya tidak seenak yang biasa Ibu, kakak, dan sepupu saya biasanya buatkan. Syukur sampai akhirnya si arsik itu masih bisa dimakan oleh seisi rumah. Hahahaha
Sesekali memberanikan diri mencoba resep bule-bule yang aslinya saja saya belum pernah mencoba rasanya gimana :D Pokoknya dibayang-bayangkan saja kira-kira rasanya gimana dari bahannya, dan selama masih enak dan diterima lidah, dianggap saja berhasil hehehe
Di masa awal saya masih suka coba-coba masak dan bereksperiment, keluarga dan teman-teman hanya sebagai tester. Sekarang sudah pada suka meminta saya bikinkan. Saya sendiri semakin kesininya makin suka masak dan mencoba resep-resep yang cepat dieksekusi. Seperti tadi malam saya bikin 3 burger yang patty-nya hasil dari bikin sendiri 2 hari yang lalu. Kalau dihitung-hitung ya kalau ke McD dengan 3 burger itu 100 ribu tidak kemana, tetapi dengan hobby barunya Miss Ariance, keuangan dan perut keluarga bisa diselamatkan. :)))
Yang paling sering direquest keluarga : Banana Cake. Berhubung Bapak sering pisang 1 tandan dan banyak sisanya yang matang tetapi belum kemakan.
Tuesday, 20 June 2017
Silvia dan Dytha
Silvia dan Dytha pertama kali
pada tahun 1995, di Taman Kanak-kanak. Walaupun tidak saling mengenal, tetapi
diperkirakan pada waktu itu lah mereka bertemu pertama kalinya di TK Sint
Xaverius Kabanjahe, tempat keduanya menghabiskan masa sekolah. Kemudian
berlanjut ke jenjang Sekolah Dasar, keduanya juga bersekolah di tempat yang
sama, yaitu SD Sint Yoseph Kabanjahe. Silvia memang lahir dan besar di kota
ini, karena orang tuanya merantau ke kota ini sebelum Silvia dilahirkan. Dytha
sendiri memang berasal dari Suku Karo yang mendiami Tanah Karo, sebutan bagi
Kota Kabanjahe dan sekitarnya. Silvia sendiri menyadari keberadaan Dytha di
dalam hidupnya di akhir sekolah dasar, dimana cimon alias cinta monyet
memperkenalkan dirinya pertama kali. Disebut cinta pertama, mungkin iya. Silvia
dan Dytha bukanlah teman yang akrab semasa bersekolah, tidak pula banyak
berinteraksi. Yang Silvia ingat dari kenangan masa sekolahnya bersama Dytha
adalah anak lelaki itu beberapa kali mengganggunya ketika pelajaran renang di kolam
Milala, bersama teman-teman segengnya.
Di bangku SMP, Silvia dan Dytha
akhirnya berpisah. Silvia melanjutkan SMP di Santa Maria Kabanjahe dan Dytha di
Xaverius Kabanjahe. Mereka pernah bertemu hanya satu kali di masa SMP itu,
yaitu ketika acara drumband di Berastagi, sebuah kenangan yang khusus, karena
ketika itu, sahabat Silvia di masa itu menyatakan perasaannya kepada Dytha
setelah acara pawai selesai dan Silvia bersama gengnya yang lain menonton
adegan itu dari jauh. Iya, Silvia menonton secara langsung. Hahahaha. Tapi
Silvia cool karena memang sudah tidak kesengsem lagi, dia sudah menemukan cinta
monyetnya yang lain di sekolahnya sendiri.
Memasuki masa sekolah SMA, Silvia
dan Dytha tidak menemukan kesempatan untuk berinteraksi sama sekali. Silvia
melanjutkan sekolah di Santo Thomas 2 Medan dan Dytha tetap di Kabanjahe,
tepatnya di SMA Negeri 1 Kabanjahe. Dytha akhirnya berpacaran dengan sahabat
Silvia yang tempo hari menyatakan perasaannya di Berastagi. Menjelang masuk ke
dunia perkuliahan, Dytha dan sahabat Silvia berpisah.
Di masa perkuliahan, secara fisik
Silvia dan Dytha masih terpisah. Silvia melanjutkan kuliah di Depok, di
Universitas Indonesia, sedangkan Dytha di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Mereka bertemu lagi di dunia maya, beberapa kali bertukar kabar melalui wall Facebook dan mengucapkan
selamat ulang tahun. Namun akhirnya keberadaan media sosial Whatsapp-lah yang
akhirnya mencairkan komunikasi di antara Silvia dan Dytha. Pembentukan group Whatsapp
SD Sint Yoseph 1995 memudahkan Silvia dan Dytha mengetahui keberadaan
masing-masing, walaupun tidak secara personal. Dytha yang sudah pindah ke Bali
untuk bekerja beberapa kali meledek Silvia dengan candaan menjurus menggoda
bersama teman-teman pria lainnya, karena Silvia masih single alias belum
menikah. Ketika Silvia mempunyai pacar pun, teman-temannya masih sering
menggoda, dimulai dari alibi meminta untuk dicarikan pacar, entah mengapa
Silvia selalu menjadi tumbal. “Ini ada Silvia yang available di group ini, masa
kalian nggak ada yang bisa dapat?”
Pertemuan secara fisik antara
Silvia dan Dytha pun akhirnya terjadi pada tahun 2014, di bulan Juli, ketika
Silvia berlibur ke Bali bersama teman-temannya dari Jakarta. Silvia memang
mencintai Bali dan sudah beberapa kali mengunjungi Bali sebelum Dytha menetap
disana. Karena sudah sering berkomunikasi di group Whatsapp sebelumnya,
akhirnya Silvia mengumumkan kedatangannya ke Bali di group tersebut. Sesampainya
Silvia di Bali, Dytha secara personal mengirimkan pesan melalui Whatsapp kepada
Silvia menanyakan agendanya dan daerah-daerah yang akan dikunjunginya selama di
Bali. Mengetahui bahwa Silvia akan ke Pantai Pandawa, Dytha pun akhirnya datang
untuk menyapa seorang teman lama yang sudah sangat lama tidak bertemu, karena
Pantai Pandawa juga dekat dari tempat kerjanya. Ya, hari itu memang hari kerja.
Dytha yang datang pada saat Silvia dan teman-temannya sudah selesai berwisata
di Pandawa, akhirnya ditodong oleh teman-teman Silvia untuk ikut ke destinasi
selanjutnya, yaitu Rock Bar. Dytha pun menyetujui dan akhirnya bolos dari
kantornya dan mendapatkan ganjaran lembur hingga malam hari itu. Hahaha
Pertemuan Silvia dan Dytha
selanjutnya adalah di Kuta, ketika Silvia dan teman-temannya makan malam di Bamboo Kuta, tetapi Dytha baru datang ketika rombongan Silvia sudah mau
pulang dan sudah berada di dalam mobil. Karena rombongan merasa kelelahan hari
itu, mereka memutuskan untuk pulang dan mengeluarkan Silvia dari mobil untuk
menemani Dytha yang sudah terlanjur datang. Awkward moment. Silvia bingung
karena tiba-tiba disuruh turun dari mobil, dan Dytha bingung mau mengajak
Silvia kemana. Akhirnya Dytha mengajak Silvia untuk minum cokelat panas di
Starbucks Discovery Mall, persis di seberang Bamboo.
Duduk berdua mengobrol tentang
banyak hal untuk yang pertama kalinya bagi Silvia dan Dytha. Keduanya masih
bingung mau bercerita apa lagi, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang setelah
1 jam mengobrol. Dytha mengantarkan Silvia kembali ke villa di Canggu. Lumayan
jauh sebenarnya untuk Dytha yang akan kembali ke Nusa Dua dengan motor. Sesampainya di villa, terjadilah
insiden yang kemudian hari disebut sebagai “Insiden Tokek”. Silvia yang belum
pernah melihat tokek seumur hidupnya mengira bahwa hewan yang ada di dalam
kamar adalah cicak besar. Tetapi teman sekamarnya langsung teriak melihat hewan
tersebut. “Tokeeeeeek....” Heboh. Pada waktu itu di villa tersebut ada 5
perempuan dan 2 pria. Dytha lah orang yang berhasil untuk mengeluarkan tokek tersebut
dari dalam kamar dan meletakkannya di pohon di luar villa. Insiden Tokek ini lah yang ternyata dijadikan Dytha sebagai ajang show off ke pacar orang. Hahaha. Setelah beramah
tamah sebentar dengan teman-teman Silvia, Dytha pamit pulang. Sepulangnya
Dytha, Silvia dibombardir banyak pertanyaan oleh teman-temannya. Apa yang
terjadi, mengobrol apa saja, dan sebagainya. Silvia hanya cengar-cengir saja
dan bilang bahwa Dytha masih tetap ganteng seperti waktu SD dulu. Hahahaha
Bisa dikatakan, pertemuan Silvia
dan Dytha untuk yang pertama kalinya setelah belasan tahun tidak bertemu,
menyisakan rasa penasaran tetapi tidak mau berbuat banyak. Silvia mempunyai
pacar ketika itu, sementara Dytha masih bekerja di Bali untuk waktu yang tidak
bisa dipastikan sampai kapan. Di dua hari terakhir Silvia berada di Bali, Dytha
mengajak Silvia pergi ke Kintamani bersama teman kantor Dytha, karena
bertepatan dengan hari libur nasional dan Dytha memang sudah merencanakan untuk
pergi bersama teman kantornya. Silvia pun setuju untuk ikut dengan alasan belum
pernah ke Kintamani. Silvia mengajak serta sahabatnya untuk ikut. Dengan 2
mobil, rombongan pergi ke Kintamani. Silvia tentu saja ikut mobil yang
dikemudikan Dytha, karena belum kenal dengan teman-teman sekantor Dytha yang
lain. Teman-teman kantor Dytha ternyata kelakuannya hampir sama dengan teman-teman
Silvia. Mereka menggoda Dytha untuk mendekati Silvia. Apakah mereka melihat
sebuah gesture yang aneh dari Silvia dan Dytha? Padahal keduanya mati-matian
untuk bersikap biasa saja dan menepis semua perasaan-perasaan yang mungkin
sudah mulai tumbuh.
Akhirnya Silvia pun kembali ke
Medan. Dytha mengantarkan Silvia ke bandara. Silvia sedih. (Karena teralu suka di Bali). Dytha menyimpan foto Silvia
yang paling cute selama 1 minggu di handphonenya, tetapi kemudian menghapusnya
karena menurut Dytha tidak mungkin dia bisa mendapatkan Silvia. Silvia kembali
ke pacarnya di Medan, Dytha diinterogasi oleh sahabatnya yang juga mengenal
Silvia karena teman SD di group Whatsapp yang sama. Dytha diperingatkan oleh
temannya itu untuk tidak bertindak gegabah. Silvia sudah punya pacar. Akhirnya
Dytha mundur. Silvia juga mundur. Mereka kembali ke rutinitas mereka masing-masing dan
sesekali bertukar kabar melalui Line. Beberapa bulan sekali. Silvia akhirnya
kembali ke Bali di bulan Mei 2015, bersama pacarnya. Tetapi tidak menemui Dytha
dan memang tidak memberitahu Dytha. Tetapi teman mereka yang mengetahui bahwa
Silvia di Bali menyebarkan info tersebut di group Whatsapp SD Sint Yoseph 1995.
“Silvia memang gitu orangnya.” Hanya itu tanggapan Dytha. Beku kembali.
Tahun Baru 2016. Dytha pulang ke
Kabanjahe. Group SD Sint Yoseph 1995 sudah ramai sejak Natal. Saling
mengucapkan Selamat Natal dan mengatur jadwal untuk kumpul-kumpul di Kabanjahe.
Sejak Natal hingga Tahun baru, jadwal pertemuan tidak kunjung diputuskan karena
masing-masing memiliki acara keluarga yang jadwalnya bentrok dengan yang lain.
Surprise! Dytha mengajak Silvia keluar berdua saja. Dengan alasan yang lain
tidak bisa pergi dan Silvia akan kembali ke Medan keesokan harinya, Dytha menghubungi
Silvia dan menjemputnya di rumah. Silvia dan Dytha tidak mengetahui tentang tempat
nongkrong yang asik di Kabanjahe. Akhirnya mereka memilih tempat yang terlihat
di seberang Mesjid Agung. Silvia dan Dytha reuni berdua. Yeay! Hahaha
Dalam tempo 2 tahun, Silvia dan
Dytha melanjutkan obrolan yang sebelumnya diobrolkan di tahun 2014. Membahas
tentang pekerjaan masing-masing lebih tepatnya. Dytha masih bekerja di Bali,
dan Silvia bekerja di Medan sambil kuliah S2. Untuk pertama kalinya, Dytha
bertanya tentang status perpacaran Silvia. Pada waktu itu, Silvia sudah putus
dari pacarnya yang sebelumnya. Silvia sedikit gamang untuk menceritakan seluruh
cerita, karena sesungguhnya Silvia sudah tidak berekspekasi apa-apa kepada
Dytha. Walaupun Silvia sedang tidak mempunyai pacar, tetapi untuk memulai
sebuah ‘cerita’ lagi Silvia masih enggan. Alhasil Silvia hanya menganalogikan
kisahnya kepada Dytha. Tidak tau juga Dytha mengerti atau tidak tentang analogi
tersebut. Hahaha
April 2016. Silvia kembali
berlibur ke Bali. Kali ini bersama geng yang isinya pria semua,
sahabat-sahabatnya sedari SMA. Kali ini Silvia memberitahukan kedatangannya.
Tetapi baru di hari ketiga Silvia berada di Bali baru Dytha datang untuk
menemuinya. Itu juga tanpa pemberitahuan sebelumnya. Silvia menanyakan tempat
makan Babi Guling yang enak di sekitar Denpasar, lalu datang ke Chandra, tempat
yang direkomendasikan oleh Dytha, dan tidak lama kemudian Dytha muncul juga di
Chandra. Tipikal Dytha. Tidak terduga.
Silvia mempunyai sahabat yang
tingkat keramahannya diatas rata-rata. Silvia bersyukur akan hal itu. Selama di
Chandra, Dytha lebih banyak berinteraksi dengan teman-teman Silvia. Sementara
Silvia menyibukkan diri dengan makanannya dan perasaannya yang mulai semrawut.
Harus bagaimana dia dengan Dytha? Setelah pertemuan di Kabanjahe, memang
intensitas komunikasi mereka meningkat, tetapi masih dalam batas basa basi. Setelah
acara makan selesai, teman-teman Silvia kembali ke penginapan dan Silvia pergi
bersama Dytha. Makan gelato. Karena Gusto sudah mau tutup, akhirnya 5 scoop
gelato diboyong ke Kuta. Di pantai bagian belakang Discovery Mall, Silvia dan
Dytha mengobrol banyak hal sambil menghabiskan gelato yang cukup untuk 5 orang
lagi. Tidak saling berhadapan, keduanya menghadap ke laut. Perasaan diteruskan
ke logika. Logika masih tidak bekerja. Alhasil Silvia dan Dytha mengobrol
banyak, tetapi tidak sampai ke hati dan tidak sampai ke pikiran juga. Masuk
telinga kanan, keluar dari telinga kanan juga. Pikiran mereka sibuk dengan
banyak kemungkinan yang tidak diutarakan. Oleh keduanya.
Berlanjut ke hari-hari
seterusnya, Dytha rajin untuk menemui Silvia. Baik ketika Silvia bersama
teman-temannya, maupun ketika Silvia sendiri karena teman-temannya belum bangun
dan mereka pergi berdua saja. Sampai akhirnya Silvia pulang ke Medan,
komunikasi antara Silvia dan Dytha terasa lebih aneh. Banyak yang tidak
terucap, tetapi pikiran dan perasaan mengatakan yang sebaliknya.
Silvia pulang ke Medan. Silvia
mencurahkan isi kepalanya kepada sahabatnya yang juga bertemu Dytha di tahun
2014.Teman Silvia ini sudah menikah di tahun 2015 dan mendiagnosa bahwa Silvia
dan Dytha mengalami yang namanya sindrom jodoh. Entah bagaimana cara
mendiagnosanya, teman Silvia tersebut mengatakan bahwa dia mengalami hal yang
sama ketika memutuskan untuk menikah dengan suaminya. Jodoh tidak ada yang
mengerti, katanya. Tetapi Tuhan akan menunjukkan langkah yang akan kalian
lakukan. Katanya lagi.
Akhirnya, Silvia memutuskan untuk
menceritakan kebingungannya kepada Dytha. Dytha menangkap kebingungan Silvia
dan akhirnya mengajak Silvia untuk berpacaran. Dengan segala konsekuensi yang
akan mereka hadapi, terutama jarak yang memang menjadi kendala utama dalam
hubungan mereka, Dytha mengajak Silvia untuk bersama-sama menjalaninya dengan
sukacita, tidak mengubah hubungan pertemanan mereka yang selama ini
menyenangkan, berpacaran dewasa, dengan tujuan untuk ke tingkat yang lebih
serius dan saling berbagi. Dytha mengutarakan tentang ketertarikannya kepada
Silvia sejak pertama kali mereka bertemu, tetapi dia tidak ingin mengganggu
Silvia dengan pacarnya terdahulu, dan setelah Silvia tidak mempunyai pacar
lagi, Dytha tidak ingin membebani Silvia dengan hubungan jarak jauh yang tidak
tentu kapan akan bertemunya.
Setelah Silvia mengutarakan
kebingungannya akan perasaan dan logikanya, ritme komunikasi dan seluruh
interaksi di antara mereka berdua, Dytha menyelamatkan Silvia dengan memberi
jalan keluar dan bertanggung jawab dengan opsi yang diberikannya. 1 tahun sudah
Silvia resmi berpacaran dengan Dytha. Bertemu secara fisik hanya 4 kali. Tetapi
tidak membuat keduanya merasa sepi. Telfon, chatting, video call, rasa terima
kasih yang tidak terhingga mereka kepada teknologi. Keduanya saling melengkapi,
saling mengisi, saling berbagi, dan perlahan berbagi tentang mimpi untuk kehidupan baru di
kemudian hari nanti.
Pertemuan pertama setelah resmi pacaran, masih malu-malu
Friday, 3 March 2017
Wedding Tourism
Hola!
Sudah Maret aja yah :D Niatan untuk menulis lebih banyak ternyata belum kesampaian. Tapi gapapa, yang penting nulis tesisnya jalan terus. Semoga kolokium dalam minggu depan, amin....
Sementara itu, berhubung tesis saya tentang strategi peningkatan pariwisata, berikut juga berhubung karena (ehem) usia yang semakin bertambah, sepertinya sudah bisa 'agak' serius menggarap yang namanya Wedding Planning. Alhamdulilah puji Tuhan tentang niatan sudah dibicarakan dengan sang Kangmas, tinggal detail plannya nih belum terpikirkan sama sekali. Karena saya rajin sekali mencari bahan untuk tesis (gayanya), saya menemukan sebuah teori tourism yang baru saya tahu juga, Namanya Wedding Tourism. Tepat sekali, dalam hati! Hahahaha
Sesungguhnya awalnya sudah pernah lihat sekelas di timeline-nya Facebook kakak kelas di FISIP dulu, dia nikahnya di tepi Danau Toba dan mecahin record MURI sebagai Pasangan Pertama yang menikah outdoor di tepi Danau Toba. Salut juga sih, awalnya. Tapi sebatas lihat-lihat foto-fotonya yang bagus bagus, lalu sudah.
And then, tepatnya kemarin siang di perjalanan mau ke kampus mau tesisan sama Ria, eh saya kepikiran lagi (ini juga kayaknya karena mendalami tesis yang paginya saya sempatkan kerjakan juga) kenapa saya nggak pake konsep Wedding Tourism juga ya? Toh juga saya bikin tesis tentang pariwisata juga untuk mengembangkan pariwisata di Karo, tapi kalau sebatas teori saja rasanya agak gimana gitu ya. Ujung-ujungnya seperti skripsi S1 lagi, hanya penelitian, nulis, tapi nggak ada kontribusinya untuk meningkatkan PAD di Nias (pada waktu itu). Dan, point keduanya adalah karena biaya menikah itu tidak sedikit, sayang sih sebenernya kalau membuat pesta besar untuk menikah. Kalau bisa dapat sponsor, mengapa tidak? Hahahahaa (ilmu Manajemen dan Pemasarannya mulai mendarah daging, sampai acara pernikahan sendiri pun mau 'dipasarkan').
Begitu ketemu Ria, kita sempat diskusi tentang ide ini which is Ria juga tertarik sama ide Wedding Tourism ini, tapi bingung mau bikin di Kisaran gimana caranya, nggak ada objek wisatanya, katanya. And then sorenya sebelum kita pulang sehabis tesisan sampai teler, saya beranikan untuk kontak Kak Sarah, si pembuat Wedding Tourism di Danau Toba itu. Alhamdulilah Puji Tuhan responsnya baik banget si Kak Sarah ini. Dari malam kemarin sampai hari ini kita banyak diskusi tentang ide-ide Wedding Tourism di Sumut dan curcol tentang tesis masing-masing yang sama-sama tentang pariwisata berikut "kegemesan" kita tentang Pariwisata yang kurang dipromosikan di Sumut. Alhasil Kak Sarah sharing hampir semua persiapan pernikahan dan vendor-vendor serta sponsor untuk pernikahannya kemarin. Saya juga dikirimkan draft proposal, buku tata ibadah, dan travel guide untuk nikahan mereka. More than that, Kak Sarah menawarkan diri untuk jadi wedding helper dan ngubungin media partner yang dulu jadi media partner dia juga. What a sudden beautiful surprise! :))
Negara tetangga kita Malaysia, punya program khusus Wedding and Honeymoon bahkan di website resmi tourism mereka. Indonesia ngga punyaaaaa :((
Makin ketar-ketir dong yaa ide saya disambut antusias sama Kak Sarah. Karena dulu saya pernah bilang ke Ibu, saya maunya nikah yang modern, nggak ribet sama adat-adatan. Dan Ibu setuju, kayaknya udah paham kalau anaknya banyak maunya hehehe. Seiring makin geregetannya saya, saya jadi makin banyak browsing tentang Wedding Tourism. Sayangnya di Indonesia (seperti yang Kak Sarah bilang juga), Wedding Tourism di Indonesia masih banyakan di Bali. Sekarang udah merambah ke tempat lain sih, seperti di Bandung, Bogor, Borobudur (kenapa B semua ya depannya?) Sedangkan Sumut punya Danau Toba. Dan Silvia punya mimpi (dari dulu) pengen nikah di Simalem. So, why we dont give it a try?
Wish us luck yaaa....
Fall in love at the first time with this place. Pertama kali kesini reramean sama The Boys tahun 2010, saya bilang ke mereka, "Aku mau nikah disini."
Sunday, 12 February 2017
Growing Up
Hi...
Sudah bulan Februari, dan saya masih males nulis lagi hehehe. Alibinya masih banyak kesibukan kuliah, tesis, nongkrong, main, nggak jelas. Mudah-mudahan makin stabil dimulai dari bulan (yang sudah berjalan) ini ya :p
Ngomongin tentang growing up, sesungguhnya saya agak sedikit mellow sehabis sahabat saya si Habin menikah minggu kemarin, dan rangkaian acaranya baru selesai tadi malam sih sebenernya. It likes a feeling that I realize one by one sabahat sahabat saya menjalani kehidupan yang baru dengan kapasitas yang lebih serius, (di bayangan saya) waktunya tidak akan sememungkinkan dulu untuk diajak kesana kemari mendadak atau rame-rame melakukan hal yang 'kurang jelas'.
Studi kasus yang saya lihat di beberapa orang teman saya ya seperti itu. Setelah menikah, ditambah punya anak, waktunya akan lebih sulit ditemui, nggak bisa ninggalin anak lama-lama, atau banyak acara keluarga yang lebih penting untuk diurusin. Keluarga memang akan selalu menjadi prioritas ya, apalagi sebagai sosok yang memang menjadi pilot dan co-pilot di armada itu. But that is a part of growing up. Fase seru seruan dengan waktu dan agenda yang fleksibel sudah lewat, masuk ke step yang lebih teratur, terencana, tanggung jawab yang lebih besar, dan berfikir lebih jauh.
Beda lagi dengan dengan beberapa sahabat yang harus mengambil keputusan untuk pindah keluar kota setelah menikah, jauh dari keluarga, menemukan pengalaman hidup baru, tempat yang baru, bahasa yang baru, serta resiko-resiko yang mungkin belum pernah dialami sebelumnya. Thats also part of growing up. In the end, masing-masing akan keluar dari zona nyamannya selama 20 tahunan ini, masuk ke zona yang lebih 'beresiko' dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menjadi individu yang lebih 'matang' dan dewasa, because grow old is mandatory, but growing up is a choice.
Semoga sahabat-sahabat saya yang sudah menentukan choicenya bisa terus berkembang menjadi lebih baik, bahagia dengan pilihan hidupnya, dan tetap menjadi sahabat-sabahat yang saling mengisi, saling berbagi, saling menyemangati, dan mendoakan seperti yang sudah terjadi selama ini dan persahabatan kita semua bisa abadi sampai mati :))
Sudah bulan Februari, dan saya masih males nulis lagi hehehe. Alibinya masih banyak kesibukan kuliah, tesis, nongkrong, main, nggak jelas. Mudah-mudahan makin stabil dimulai dari bulan (yang sudah berjalan) ini ya :p
Ngomongin tentang growing up, sesungguhnya saya agak sedikit mellow sehabis sahabat saya si Habin menikah minggu kemarin, dan rangkaian acaranya baru selesai tadi malam sih sebenernya. It likes a feeling that I realize one by one sabahat sahabat saya menjalani kehidupan yang baru dengan kapasitas yang lebih serius, (di bayangan saya) waktunya tidak akan sememungkinkan dulu untuk diajak kesana kemari mendadak atau rame-rame melakukan hal yang 'kurang jelas'.
Studi kasus yang saya lihat di beberapa orang teman saya ya seperti itu. Setelah menikah, ditambah punya anak, waktunya akan lebih sulit ditemui, nggak bisa ninggalin anak lama-lama, atau banyak acara keluarga yang lebih penting untuk diurusin. Keluarga memang akan selalu menjadi prioritas ya, apalagi sebagai sosok yang memang menjadi pilot dan co-pilot di armada itu. But that is a part of growing up. Fase seru seruan dengan waktu dan agenda yang fleksibel sudah lewat, masuk ke step yang lebih teratur, terencana, tanggung jawab yang lebih besar, dan berfikir lebih jauh.
Beda lagi dengan dengan beberapa sahabat yang harus mengambil keputusan untuk pindah keluar kota setelah menikah, jauh dari keluarga, menemukan pengalaman hidup baru, tempat yang baru, bahasa yang baru, serta resiko-resiko yang mungkin belum pernah dialami sebelumnya. Thats also part of growing up. In the end, masing-masing akan keluar dari zona nyamannya selama 20 tahunan ini, masuk ke zona yang lebih 'beresiko' dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menjadi individu yang lebih 'matang' dan dewasa, because grow old is mandatory, but growing up is a choice.
Semoga sahabat-sahabat saya yang sudah menentukan choicenya bisa terus berkembang menjadi lebih baik, bahagia dengan pilihan hidupnya, dan tetap menjadi sahabat-sabahat yang saling mengisi, saling berbagi, saling menyemangati, dan mendoakan seperti yang sudah terjadi selama ini dan persahabatan kita semua bisa abadi sampai mati :))
Monday, 16 January 2017
2017
Selamat datang 2017!
Sudah lama rasanya saya tidak muncul di blog, well many things happened dan banyak perbedaan juga di tahun 2017 ini.
First of all tentu saja adalah the biggest issue among our family. Losing mom. I'll talk about it later.
Second, back to campus. Setelah berbulan-bulan bergalau untuk meneruskan kuliah atau pasrah saja dengan keadaan, akhirnya dengan dorongan keluarga, terutama Bapake tercinta, rekan-rekan sejawat sependeritaan, teman-teman di MM, dan sang kekasih hati (cielah) akhirnya saya terseok-seok untuk kembali berjalan di koridor perkuliahan ini dan puji Tuhan sudah memulai untuk penulisan tesis saat ini.
Third, goal setting dan perubahan rencana. Sesungguhnya banyak sekali impian dan cita-cita berikut keinginan yang harus saya ubah di tahun ini, seturut dengan semakin banyak memupuk yang namanya ke-sa-bar-an kepada diri sendiri untuk berbesar hati demi kekasih-kekasih hati lainnya yang namanya keluarga.
Well, welcome 2017! Please be a good one!
Love,
-Princess-
Subscribe to:
Posts (Atom)
Hamil (Ep. 1)
H a lo... Sesuai janji saya di post sebelumnya, kali ini saya akan membahas tentang kehamilan saya secara lebih detail. Kapan ketahuann...
-
Company name : Best Friends Forever Board of Director : Ika Pratiwi, SIA, RFP Putra Ilham Madjid, SIA. ...
-
Perjalanan ke Pantai Melasti bisa dibilang perjalanan yang paling santai dan tidak terencana. Pulang kerja di hari Sabtu (iya, suami saya k...